Thursday, July 7, 2011

#urnotalone

Ugly Asian

Self-unforgiving

Fake

#urnotalone


Hai!

Sudah lama saya tidak mencoba menuliskan ide yang berputar-putar di kepala saya dalam bentuk notes, walau ide itu masih terus berputar, dan akhirnya sekarang saya duduk di satu spot yang nyaman, samping jendela perpustakaan universitas, sambil menunggu jatah mengajar sore di Salatiga ini.

So, kalau teman-teman mengamati update status pendek saya selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 26-28 Juni 2011 kemarin (biasanya malem hari), saya nulis kata-kata dalam Bahasa Inggris yang geje, vague, dan selalu diakhiri dengan hash-tag #urnotalone. Ya, saya sadar bahwa hash-tag (or lambang #) seharusnya muncul di twitter, dan emang sebenernya saya juga update tripel status itu di twitter saya (follow me kalo masih belum, @dankuur).

Jadi apa artinya semua update status itu?

Mungkin, dan pastinya, banyak, atau semua, pada bingung, kalau temen-temen tidak tahu apa itu #urnotalone. Sebagai seorang fans cukup-berat serial tipi Glee, saya sedikit mengikuti update proyek baru mereka: The Glee Project, ajang bakat buat mencari pemenang yang akan jadi karakter tambahan di Season 3 serialnya. Dan salah satu tugas di kontes itu adalah bikin video clip. #urnotalone jadi salah satu kampanye mereka, lewat video klip lagu Mad World (check di youtube, aselinya dinyanyiin Tears for Fears), dimana mereka nyanyi dengan tiap orang bawa papan yang sebenarnya buat iklan pizza tapi malah ditulisin kata atau frasa yang nunjukin karakter/kepribadian/hal yang selama ini jadi self-insecurity, atau ketidaknyamanan atau ketidakpedean, mereka. Dan FYI, fans Glee Project yang ikutan update post #urnotalone juga lumayan banyak, coba search hash-tag itu di twitter. Saya salah satunya. Bukan sekedar ikut-ikutan fans yang lain, tapi memang selama ini saya bergumul dengan tiga hal yang bikin saya terus merasa insecure--tidak pede dan tidak nyaman dengan diri saya.

Pastinya, semua orang juga, bahkan yang paling pede pun, kalau mereka tidak bisa mengungkapkannya, pasti bergumul dengan bagian dari diri mereka yang bikin mereka merasa insecure (tolong koreksi saya, kalau memang ini generalisasi yang salah). Entah itu karena physical defects ('cacat' atau 'kelemahan' fisik) atau ada personality atau traits (kepribadian atau sifat) yang dianggap merugikan atau tidak bisa diterima, dan terus membuat mereka, kita, tidak merasa sepenuhnya menjadi diri kita.

Thanks to people yang secara sadar maupun nda sadar sering bikin joke kecil-kecilan, maupun besar-besaran, dan sering main-mainin karakter maupun 'kekurangan' kita untuk guyonan. Saya sendiri ada kalanya benar-benar bisa tertawa dan mencoba (dengan cukup keras, honestly) untuk bisa menikmati dan 'bangga' dengan kekurangan saya. Oke lah, kalau memang itu teman-teman dekat saya (ini yg selama ini jadi prinsip saya) yang 'ngejek', saya masih bisa menikmati guyonan mereka. Entah itu green goblin, jerawat, kepala besar, kerempeng, gigi kelinci, dan lainnya yang kadang lewat dan saya lupakan. Tapi, eh tapi, tidak jarang ketika teringat lagi (lah, aneh to, lupa kok diingat lagi) bisa bikir saya merenung. Ttidak jarang juga, sambil merenung di malem hari, saya ngayal dan berharap bahwa ada fairy godmother yang bakal datang mengayunkan magic wand berujung bintangnya, mengubah saya sedikit lebih charming, atau setidaknya dia jatuhin sekarung berlian buat saya operasi plastik. Oh, dan btw, curhat saya ini tidak berarti saya sedang mengemis siapa pun untuk kemudian super hati-hati atau jaga-jaga or jadi so serious kalo ngomong dan guyon dengan saya, apalagi teman-teman dekat saya.

But, self insecurity bukan sekedar masalah physical look--penampilan fisik. Masih ada beberapa, atau banyak hal lain yang bisa bikin saya, kita merasa tidak nyaman. Masa lalu. Pengalaman. Karakter. Kepribadian. Kebiasaan. Status. Latar belakang. Pendidikan. Pekerjaan. Orientasi. Hobi. Penilaian orang. Stereotip. Dan semua yang intinya tidak membuat kita pede dan nyaman menjadi diri kita. Masalahnya tidak semua orang bisa menyadari hal ini, yang entah sadar atau tidak mempengaruhi bagaimana kita menilai diri dan akibatnya juga mempengaruhi bagaimana kita bersosialisasi, dan terlebih menilai dan berkomentar tentang orang lain.

OK, pastinya, dan saya yakini, saya bukan sebuah cacat atau kecelakaan dalam proses penciptaan yang dilakukan Tuhan (lepas dari banyolan sodara-sodara tua yang sering godain saya waktu kecil dengan bilang saya ini dilahirin di toilet, or waktu mama saya boker sekalian saya meluncur keluar). Amin. Dan sejauh keyakinan saya berbicara dan mengamini, saya bisa berkata bahwa saya spesial dan unik di mata Tuhan. Bahkan kalau memang ada doppelganger saya di dunia ini, entah dia seorang gelandangan atau malah milyader di satu tempat lain, pastinya tidak identik dengan saya. Doppelganger itu kembaran, yang katanya identik, ada satu entah dimana, dan kalo ketemu bisa bikin kita mati seketika. Tapi, dan tapi lagi, kita hidup di dunia yang seringnya orang-orang yang kita jumpai setiap hari tidak bisa dengan jernih memandang seperti Tuhan memandang. Beberapa orang jadi super minder, sementara yang lain jadi over pede (atau yang sekarang disamarkan dengan istilah narsis), yang sejauh pengamatan dan dugaan saya, mereka jadi seperti itu (entah keminderan or kepedean or kenarsisan) untuk menutupi self-insecurity mereka.

Penerimaan diri.

Buat saya itu kuncinya. Saya merenung, dari dulu ataupun sampe titik saya update status #urnotalone itu (beneran deh, hobi saya merenung, parah), apa yang selama ini memang jadi hal-hal yang bikin saya feel insecure a.k.a not confident. Saya mencoba mengerucutkan, dan akhirnya memfilter tiga hal utama yang saya anggap ketidakpedean saya. Menyadari dan menerima 'kelemahan' itu rasanya jadi salah satu langkah awal buat kita bisa mengutuhkan pribadi kita. Mungkin ada bagian yang nantinya bisa dirubah, tapi banyak bagian lain yang, sayangnya, tidak bisa dirubah. Tapi itulah kita. Dan itu yang membuat kita unik. Sejauh kita menerimanya, dan tidak lagi menjadikannya sesuatu yang memaksa kita untuk terus tidak menerima diri kita sepenuhnya, atau lebih parahnya protes pada Pencipta kita (atau dengan lugu marah dan menyalahkan orang tua kita yang melahirkan dan membentuk kita selama ini).

#urnotalone. Kamu tidak sendirian. Banyak teman. Mereka juga berjuang, sama seperti saya, dan kamu. Entah untuk hal-hal yang sama, atau yang berbeda. Menerima diri, dan mencoba memandang hal-hal yang menjadi self-insecurity kita dengan lebih 'bijak dan dewasa'. Membiarkan hal yang nampak seperti lubang di tengah donat hidup saya menjadikan saya sepenuhnya dan sejatinya adalah donat yang berlubang yang tidak 'dilecehkan' karena saya berlubang, both literally and figuratively. LOL.

Kedengaran too utopian kah? Terlalu idealis dan mulukkah? Biarlah kalau memang demikian, setidaknya for me, saya masih menikmati pikiran utopia saya. :D

GBU!


PS: This was actually posted on my Facebook note. Visit my account, and add me if you don't mind :)