Friday, October 31, 2014

Siklus Hidup

Kapan masuk sekolah?
Kapan kuliah?
Kapan lulus?
Kapan mulai kerja?
Kapan tunangan?
Kapan nikah?
Kapan punya momongan?
Kapan kasih adik buat dedeknya?
Kapan mantu?

Kapan...

Karena untuk beberapa
itu basa-basi,
itu sindiran,
itu tuntutan,
itu lelucon,
itu pilihan,
itu teror,
itu doa.

Thursday, October 30, 2014

Ketika Papa Belajar Pakai Smartphone

Kemarin, saya sedang menikmati makan malam saya ketika Papa pulang dari kerjanya, kemudian tiba-tiba bercerita, "Di Tribun, lagi rame pada bahas kabinet baru, ya. Tadi ada tentang Susi yang...."

Saya diam sejenak, antara kaget dan kagum, bukan karena diskusi Kabinet Kerja yang baru dilantik, ataupun tentang menteri selengean yang bertato dan merokok. Saya kaget karena papa sudah menikmati browsing berita dengan gadget barunya.

Awalnya Papa sempat ragu dan malas, plus saya sendiri juga ragu ketika menawari smartphone baru untuk Papa saya. Dulu saya mengajak Papa belajar menggunakan komputer, karena dia bendahara gereja yang kudu—dan emang rajin—bikin laporan keuangan, dan ternyata Papa tidak begitu antusiasnya. Sakitnya tuh disini *nunjuk kepala*. Tapi untuk kasus smartphone ini, ternyata ada bedanya, meskipun saya tahu sebenarnya ada perasaan enggan dan malas yang dialami seorang imigran di dunia digital untuk belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru.


Papa memang menunjukan semangat belajar, dan saya juga ikutan antusias untuk mengajar. Well, ya, di hari-hari pertama memang saya lumayan kehilangan kesabaran gegara melihat cara Papa menge-poke layar sentuh, alih-alih touch and swipe layar dengan lembut. Tapi saya melewati periode kekurangsabaran itu dan semacam membiarkan Papa saya bereksperimen dan berpengalaman dengan gadget barunya.

Otak saya juga secara otomatis memikirkan 'kurikulum dan silabus' kursus-singkat-pemakaian-smartphone-untuk-generasi-senior-yang-awam-teknologi-canggih-itu. Materinya? Well, seperti ini:

  • pengenalan tampilan dan bagaimana touch dan swipe layar, berakhir dengan aksi poking, dan in fact, untuk kualitas kekasaran permukaan jari papa, lapisan pelindung layar itu sekarang sudah cukup kusam di beberapa spot 
  • bagaimana mengaktifkan mode getar dan silent, buat siap-siap kalau Papa sedang rapat atau tidak mau berisik
  • menerima dan melakukan panggilan telepon, dengan sekali kasus kebingungan bagaimana cara mematikan panggilan padahal salah kontak orang; ini bikin geregetan juga
  • menerima dan mengirim SMS, so far tidak ada kendala
  • BBM, yang ternyata tidak sebegitu antusiasnya, malahan Papa bingung kalau melihat teman-teman BBM-er rajin update foto dan personal message
  • Whatsapp, ini yang bikin Papa cukup tertarik, penasaran bagaimana mengirim dan menyimpan gambar kiriman teman, dan beberapa kali meneruskan gambar humor ke saya juga 
  • memanfaatkan aplikasi Alkitab, yang tidak begitu sering digunakan Papa saya, bahkan di gereja,
  • Browsing via Chrome, cukup untuk searching informasi dan membaca berita, dan sekarang memang rajin update berita, mostly tentang politik dan olah raga 
  • nonton Youtube, yang berakhir dengan kami sama-sama cukup kecewa karena slogan 'I hate slow' dari Semarpret sukses mem-PHP-kan kami
Sekarang, Papa sering bangun pagi, langsung ngechek smartphone-nya. Sembari menunggu giliran mandi, kadang-kadang *uhuk* ngerokok pagi sambil baca berita. Pulang kerja, gak jarang sharing kendala pemakaian smartphone-nya maupun apa yang ditemukan di Internet.  

Respon Mama? Cuek-cuek saja. Memang awalnya saya ngiming-imingi Papa maupun Mama, tapi ketika Mama lihat bagaimana papa sering bingung, sepertinya dia jadi enggan untuk ikut menggunakan smartphone. Komentar terakhir mama pun, "Udah, cariin HP yang biasa (bukan touch screen). Yang penting ada kameranya. Itu sama punya kamu aja (nunjuk blackberry saya)."

Adik saya? Begitu dapat undangan berteman BBM dari Papa, spontan update status seperti ini,


Yang jelas saya ikut semangat ketika Papa saya semangat belajar dan bisa merasakan manfaat dari smartphone barunya. 

Ada yang kelewatan di kurikulum saya? Facebook? Ummm, sepertinya tidak perlu mengajarkan yang satu ini dulu ya. *grinning*

Ada pengalaman unik ngajarin ortu atau sesepuh lainnya belajar pakai smartphone dan sejenisnya? :)

Tuesday, October 14, 2014

Bagi-Bagi Durian

Durian itu nikmat.  Tapi buat yang doyan, tidak pantang dan dilarang makan.  Saya salah satunya.

Jadi kalau sudah ada durian yang baunya menyebar ke seluruh rumah (PS. Indra penciuman saya cukup kuat, terbukti dengan hidung yang ukurannya lumayan gedhe, entah memang nyambung atau tidak), saya bakal langsung liar mencari-cari dimana letak buah berduri itu.



Sayangnya tidak semua orang suka buah yang asalnya dari Asia Tenggara ini.  Jadi meski saya bisa begitu menikmati makan duren, sampe jilat-jilat jari, orang lain mungkin responnya biasa saja. Atau malah mereka jijik dan tereak-tereak kalau mencium bau duren, dan sebelum akhirnya mereka mual dan pengin mutah. (Ada yang sudah jijik lihat gambar durian di atas?  Saya sengaja kalau begitu.)  Apalagi kalau dikasi ke penderita hipertensi, kita malah bisa dianggap sedang minta warisan dari mereka.

Terus kalau pengin berbagi buah durian (anggap kalau orangnya suka durian), gak mungkin, kan, ngasih durian dengan cara dilempar, lengkap dengan kulitnya?  Yang ada ini ngasih kesempatan buat di-opname or langsung dikirim ke kuburan.

Bisa juga waktu buat ngasih buahnya gak tepat.  Katanya, katanya loh (padahal ternyata mitos), pas hamil, wanita tidak boleh makan durian.  Kalau pria sih ga masalah, ya? *siap-siap dilempar durian* Sukur-sukur kalau duriannya disimpan, atau dioper ke orang lain.  Kalau dibuang, kan mubazir.  Bisa juga, duriannya dikasi abis minum bir, bisa tambah toying itu.


Berbagi niat baik itu mungkin juga sama seperti berbagi buah durian.

Niatnya memang baik.  Entah itu yang universally baik, atau menurut kita baik, karena kita pernah ngincipin (baca: mengalami) hal yang serupa.  Tapi, ya, bisa saja niat baik itu jadi masalah buat orang lain.

Entah karena target orangnya salah.  Atau karena cara menyampaikan atau memberikan niat baik itu kurang tepat.  Atau mungkin karena bukan/belum momennya yang pas buat menyampaikan niat baik itu.

Ya, yang paling menyebalkan, kalau memang semuanya sudah pas, eh, ternyata orang yang mau jadi target niat baik ini notabene sudah benci tingkat setan ke kita.  Dengan atau tanpa alasan yang masuk akal manusia.  Niat baik level dewa manapun dan sesuci apapun bisa dianggap tokai kucing.

Jadi, saya belajar kalau good will itu tidak sesimpel itu.  Tapi, bersyukur kalau kita bisa memikirkan dan ingin punya niat baik buat orang lain, di tengah trend pola hidup yang makin individualis dan apatis.

Pak Kent Keith mengingatkan, meski dunianya bobrok, kita kudu tetap berusaha mengasihi, tetap melakukan yang baik, tetap menolong, dan tetap memberi yang terbaik.  Tinggal menambahkan strategi yang tepat buat melakukan semua itu.

Ciao.



PS.
Habis makan durian, kalau cuci tangan katanya disuruh merem matanya, biar baunya ilang.
Saya pernah coba. Dan tidak ngefek. -_-

PS lagi.
Tulisan ini, awalnya diposting sebagai note di FB saya, 23 Januari 2014. 

Friday, October 10, 2014

Kok, Bertengkar dengan Kakak-Adik (dan Papa-Mama)?

You don't choose your family. They are God's gift to you, as you are to them. ~ Desmond Tutu

"Karena sering dijahilin sama Kokoh"
"Kalau pulang sore karena ngerjain tugas (sekolah) terus dimarahin."

Itu beberapa alasan yang dituliskan teman-teman remaja ketika saya memimpin sesi diskusi dan sharing Sabtu lalu di Persekutuan Remaja, GKI Pajajaran Magelang. Tema yang diberikan ke saya, 'Sayang adik-kakak,' dan awalnya langsung bikin saya bingung. Saya punya satu adik, dan bukannya saya tidak sayang adik saya, tapi mungkin teman-teman dekat saya tahu kalau saya tidak sering menunjukan keakraban adik-kakak sebagaimana yang ditunjukan siblings yang lainnya.


Saya memperluas sedikit tema itu, dan menambahkan topik 'sayang orang tua' ke dalam diskusi kami (yang ternyata sudah dibahas minggu sebelumnya). Saya jadi tergelitik ketika membaca sms yang menyebutkan tujuan dari diskusi tema ini: supaya kakak adik tidak terus-terusan bertengkar, dan tidak melawan mama-papa. Kenyataannya, tidak jarang saya sering diskusi dan bahkan mengkritisi (kalau mau dibaca: melawan) pendapat orang tua saya.

Dari beberapa referensi yang saya baca, kita bertengkar—beda pendapat, salah paham, berselisih ide—dengan orang tua maupun saudara karena beberapa hal. Well, saya memulai diskusi malam itu dengan meminta mereka menuliskan contoh alasan-alasan sehari-hari yang sering memicu pertengkaran di rumah.

Menarik ketika membaca pengalaman yang dituliskan teman-teman: rebutan channel televisi, ortu yang galak, sok tahu, kakak yang sok berkuasa, ngotot-ngototan, bahkan sampai faktor kegantengan sang kakak yang di bawah standar harapan sang adik.


Saya minta mereka menempelkan post-it tulisan mereka dalam dua kategori: orang tua dan saudara, membahasnya secara singkat, kemudian menanyakan beda secara umum alasan dari kedua kategori itu. Seorang remaja langsung menjawab, 'Kalau dengan kakak-adik, bisa dua-duanya sama-sama salah. Tapi kalau dengan orang tua, biasanya orang tua benar, kita yang salah.' I would agree with that.

Kita dan ortu atau saudara bisa saja bertengkar karena kita punya cara yang berbeda dalam mengungkapkan dan menerima kasih, atau cinta. Alasan pertama perselisihan dalam keluarga adalah perbedaan bahasa kasih. Saya meminjam istilah bahasa kasih yang diperkenalkan Gary Chapman, dan dalam bukunya, yang notabene sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dia menyebutkan ada lima jenis bahasa kasih: kata-kata penguatan (words of affirmation), pelayanan (acts of service), sentuhan fisik (physical touch), pemberian hadiah (gifts), dan waktu bersama (quality time). Betewe, kita bisa cari tahu jenis bahasa kasih kita disini. Bahasa kasih saya? Saya rasa sudah ada perubahan: antara sentuhan fisik, kata-kata penguatan, dan hadiah.

Keluarga jadi tempat pertama kita menerima, menyatakan, dan melatih mengekspresikan sayang kita, dan memakai ide Chapman, kita punya bahasa yang berbeda untuk melakukan itu. Seorang ibu mungkin ingin melayani anak, 'memanjakan' mereka, tapi sayangnya si anak merasa risih. Budi memikirkan dan menyiapkan hadiah khusus untuk papanya, yang malahan tidak kelihatan begitu semangat menganggap hadiah spesial itu. Atau, Nora pengin menghabiskan waktu lebih dengan adiknya, kemudian 'caper' dengan iseng dan jahil, tapi adiknya menganggap itu kenakalan yang mengganggu. Well, at least, that what I did to my younger brother. Beda bahasa kasih ini juga nampak ketika mendengar jawaban dari seorang teman, "Mama pengin jemput saya, tapi saya tidak pengin merepotkan. Nah, kami kemudian bisa bertengkar, deh."


Alasan kedua adalah karena tiap anggota keluarga pada dasarnya ingin merasakan atau memiliki kebebasan dan privasi. Sang anak ingin bebas bepergian, entah untuk menyelesaikan tugas belajar ataupun untuk tujuan bermain, tapi ortu di sisi lain khawatir. Orang tua juga sering menetapkan aturan, yang dianggap mengekang dan membuat anak gerah. Belum lagi aturan tidak resmi dari kakak untuk adik, seperti ketika saya melarang adik saya buat rebahan di ranjang seenaknya ketika ia pulang dan masih berpakaian kotor dengan debu atau keringat dari luar rumah.

Kita sering merasa tidak nyaman dengan aturan yang dibuat dalam keluarga, atau beberapa menyebutnya 'kontrak keluarga'. Tapi kenyataannya, aturan itu, ketika dibuat dengan dasar dan tujuan yang baik, tidak pernah dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan kita. Disiplin yang ingin diterapkan bertujuan meningkatkan kualitas pribadi kita. Menaati orang tua bukan berarti melenyapkan atau membatasi kebebasan, justru malah kita sedang menyiapkan diri untuk nantinya terbiasa hidup disiplin dengan sendirinya. Akan tiba masanya ketika anak berpisah (rumah) dengan orang tua, dan dianggap ada kebebasan lebih. Tapi sampai saat itu tiba, biar kita menikmati hidup dengan aturan yang ada.


Dan terakhir, kita sama-sama punya kepentingan, pandangan, dan prioritas yang berbeda. Belajar bisa saja dianggap tugas nomor satu oleh orang tua, atau untuk orang tua yang lain, membantu ortu juga tidak kalah pentingnya. Sementara anak bisa saja melihat bahwa mereka butuh hiburan, perlu menyalurkan bakat, dan ingin menghabiskan waktu bersama teman. Ortu dan anak bisa saja ribut besar gegara pemilihan jurusan kuliah, karena ortu lebih memikirkan apa yang dianggap menghasilkan banyak uang, sementara anak pengin mengembangkan bakat mereka. Atau ketika saya dan ortu rebutan channel televisi, karena beda melihat apa yang dianggap hiburan.

Jadi bagaimana supaya tidak bertengkar? Ya, for me, kembali melihat tiga alasan itu; apakah memang ada perbedaan dalam memandang dan memahami bahasa kasih, kebebasan dan privasi, serta kepentingan dan prioritas hidup. Next, kita perlu memikirkan bagaimana berkomunikasi supaya perbedaan itu bisa sama-sama dipahami dan diterima. Dan belajar berkomunikasi itu hal yang lain lagi. Tapi at least kita sudah mencoba lebih peka melihat hal-hal yang bisa memicu perselisihan dalam keluarga itu. Dan ketika semuanya didasarkan dan dimulai dengan kasih atau cinta, saya rasa kita bisa lebih menghindari atau mengurangi pertengkaran di rumah. Atau menganggap perselisihan itu bukan hal yang destruktif.