Tuesday, January 27, 2015

G*blok, dan Pintar

Akun medsos sebagian besar orang Indonesia plus update di aplikasi chat, minggu lalu, dibanjiri foto, meme, maupun kutipan dari Alm. Om Bob Sudino. Tren jaman sekarang: rame-rame pasang foto dan sejenisnya di medsos atau aplikasi chat untuk mengabarkan simpati. 

Anyway, salah satu kutipan yang mendadak populer dari almarhum adalah, 'Orang g*blok sulit dapat kerja akhirnya buka usaha sendiri. Saat bisnisnya berkembang, orang g*blok mempekerjakan orang pintar.' 


Saya terdiam; otak saya mencampur perasaan tersinggung, tersentil, mikir, dan pengin ketawa. Saya termasuk orang yang g*blok atau pintar? Kalau saya tersinggung, berarti saya sok pintar. Saya sadar diri bahwa saya masih g*blok; kenyataannya masih banyak jutaan orang pintar di luar sana. Kalau saya bangga, berarti saya sok g*blok. 

Yang jelas, tidak sedikit teman-teman saya yang memasang foto Alm. Om Bob berhias kutipan itu. 

Sampai satu siang, saya buka BBM saya dan mengecek updates, dan menemukan seorang teman menulis, 'G*blokmu sama g*bloknya Bob Sadino itu beda, lho. Catet!' Otak saya berteriak kegirangan. Saya otomatis nge-chat dia. Saya bilang kalau ternyata saya bukan satu-satunya yang berpikiran seperti itu. Saya punya teman! Kemudian, dia menambahkan, 'Banyak orang g*blok yang gak tau diri soalnya.'

Saya bukannya mau merusak suasana berkabung, atau tidak mau bersimpati. Saya cuman berpikir (well, yes, itu hobi saya). 

Kutipan dengan pesan semacam itu bukan lah yang pertama. Almarhum sendiri memang sering bahas hal serupa. Selain itu, Gubernur DKI yang sipitnya sama seperti saya, Om Ahok, pernah menyampaikan pesan yang mirip, meski dia menambahkan kategori orang yang 'terlalu pintar', 'terlalu bodoh', dan 'sekedar lulus (kuliah)' 


Kuliah itu jangan terlalu pintar, cukup sekedar lulus saja. Jangan terlalu bodoh, nanti susah lulusnya. Kalau terlalu pintar biasanya balik lagi ke kampus jadi dosen. Nah, yang hanya sekedar lulus, biasanya balik ke kampus sudah menjadi donatur. Itu kata-kata Ahok.

Saya berpikir, apa sebenarnya yang bikin saya bisa dapat label bodoh dan pintar. Saya merenungkan indikator buat masuk kategori g*blok itu apa saja (tidak penting banget!). Kalau teman saya, atau yang lain, sampai ada yang bisa bilang g*bloknya (atau pintarnya) seseorang dengan yang lain itu beda, dan saya juga setuju hal ini, apa yang bikin beda? Apa g*blok dan pintar ada tingkatannya, supaya mirip kripik singkong yang punya level pedas yang beda-beda. 

Kalau orang selevel Alm. Om Bob yang notabene pemimpin dan memiliki beberapa bisnis menyebut diri g*blok (semoga kesimpulan saya tidak terlalu kebablasan), sampai-sampai beliau bisa ada di posisi itu, lah, yang jauh di bawah dia berarti g*blok level berapa? 

Sepertinya g*blok yang dimaksud Om Bob itu mereka yang tidak mendapat nilai bagus di sekolah. Atau para murid yang hobi jadi target empuk para guru yang kehabisan kesabaran buat membimbing mereka (lebih ekstra). Atau mereka yang tega ditinggalkan dan dipinggirkan para guru atau dosen. Atau mereka yang bikin guru-guru malas buat masuk kelas (tidak cuman murid yang malas masuk kelas, loh!). 

Tapi, ya, itu kenyataannya.

Banyak mahasiswa yang terlalu pintar dengan transkrip nilai yang membosankan karena isinya cuma A, tidak bisa move-on dari kampusnya karena memutuskan tinggal dan jadi dosen. Sampe dia botak ngejar gelar doktornya pun, gajinya kadang-kadang miris. 

Dan golongan yang satu bak menerima mujizat surgawi. Tidak sedikit yang dulunya dianggap super class-clown dan nyaris kena drop-out, atau yang bangga menyandang gelar NASAKOM (nasib satu koma), kadang lulus dengan begitu epic-nya. Malahan mereka buka usaha, terkenal, dan dapet duit banyak. Ketika orang-orang macam ini lulus, lalu meraih sukses (versi mereka), mereka begitu berhasratnya melampiaskan dendam karena merasa di-bully guru (dan teman-teman) mereka di bangku sekolah atau kuliah karena nilai mereka. Mereka balik mem-bully ‘golongan pintar’ dengan mempekerjakan mereka. Jadi bos mereka.

#sejenakmenghelanapas

Balik lagi: g*blok vs pintar. Apa yang bikin kita layak dan kepedean untuk masuk satu dari dua kelompok ini? 

Bukanya bisa menghasilkan banyak duit itu juga pintar? Pintar berwirausaha. Bukannya artis yang menghibur banyak orang di televisi (meskipun tidak jarang banyolannya lebih slapstick dan komentarnya sering kelewatan dari kadar kesopanan) juga berarti pintar berinteraksi dan menarik minat orang? Saya punya temen gitaris yang aji gile canggihnya memetik dawai gitar itu, padahal dulu dia nyaris DO karena sempat hampir berkomitmen jadi mahasiswa abadi. Dia g*blok? Ah, tidak. Dia pandai dalam bermusik. Orang-orang ini pintar!

Jadi apa itu g*blok? Saya mau skip bagian ini ah, karena saya meyakini kalau g*blok itu tidak eksis. Yang ada hanya malas (istilah yang dipakai seorang mantan guru yang sok bijak). Tapi kalau dipaksa suruh mendefinisikan kata g*blok, saya mau pakai frasa ‘tidak mau belajar dari pengalaman’ sebagai arti kata itu. Maaf. 

Jadi, jangan kecil hati, dan jangan hilang arah dan tujuan. Kita lebih besar dari butiran debu. Dan kalau ada yang ngecap kita g*blok, mungkin kita belum menemukan faktor X-nya kita aja. Begitu ketemu, tidak ada salahnya mencoba audisi kompetisi nyanyi itu. Endingnya mungkin antara terkenal karena bakat nyanyi kita, atau bisa saja terkenal karena jadi bahan lelucon. Itu juga pintar: pintar menghibur. Dan, ya, saya tahu paragraf satu ini agak gaje.

Yang perlu diingat, seperti yang diingatkan teman saya, jangan terlalu pede kalau kita pintar, atau g*blok. Plus, tahu diri dengan keg*blokan maupun kepintaran kita. Stay humble. Bukannya itu pesan yang sebenarnya diingatkan dan terpancar dari pribadi dan gaya hidup Alm. Om Bob?



(Semula, saya nekat mengajukan tulisan saya ini ke salah satu situs kumpulan berita dan artikel, tapi berita baik tidak kunjung datang. Jadi, ya, saya share ini disini.)