Monday, July 25, 2016

Dokter Gigi Saya Panuan!

Saya mengunjungi dokter gigi langganan saya pagi itu, satu-satunya waktu saya bisa janjian dengan si dokter. Keluhan umum, gigi lubang, dan linu. Minta dibersihin dan ditutup saja. Dokter gigi saya adalah teman saya, dan kami sering sharing cerita. Alhasil pagi itu jadi sesi pemeriksaan sekaligus berbagi curhat seperti biasanya.

Dia menasihati saya cara untuk merawat gigi saya. Dia kasih wejangan supaya badan saya lebih utuh sehatnya, salah satunya dengan menjaga kebersihan mulut dan gigi.

Beberapa chit-chat dan curhat lain berlalu, sampai pada giliran dia curhat bahwa sudah lama dia menderita penyakit itu: panu. Saya shocked. Saya tidak terima. Saya protes ke dia. Bagaimana mungkin seorang dokter, meski dia spesialis gigi, tapi tidak merawat diri. Kotor. Tidak sehat.

Intinya saya tidak terima dan menganggap dia gagal sebagai seorang dokter karena ternyata dia sendiri tidak utuh menjaga kesehatan tubuhnya. Kemudian saya seketika itu juga pergi meninggalkan si dokter gigi, yang melongo karena saya ngeloyor pergi tanpa bayar.


Oke, terkesan lebay. Dan memang itu hanya fiksi. Tapi, pesan yang ingin saya sampaikan bukan khayal semata. #oposeh

Dasarnya, kami berdua sama-sama sakit. Tidak sehat. Butuh disembuhkan, meski jenis penyakit yang mengganggu keutuhan sehatnya badan kami berbeda. Tapi, kembali lagi, kami sakit.

Dan teman saya yang dokter punya niat yang baik. Menasihati saya, dengan menunjukkan atau mengidentifikasi sakit saya serta memberikan saran supaya saya bisa lebih menjaga kesehatan diri saya. Tapi saya? Entah terlalu naif (1) menganggap bahwa dokter terlalu sempurna untuk tidak diijinkan sakit atau harus 100% protektif terhadap dirinya sendiri, atau (2) ngeyel bahwa hanya orang yang sempurna well-being-nya yang boleh memberikan nasihat untuk hidup sehat bagi orang lain.

:) 

Terkadang niat baik kita untuk mengidentifikasi dan menunjukkan apa yang salah buat rekan kita dianggap sebagai niat judging yang menyakitkan hati. Abaikan cara penyampaian, dan mari menganggap bahwa kita sudah menyampaikannya dengan pendekatan yang tepat dan sopan.

Menyadari bahwa kita ini sama-sama manusia, yang memiliki ketidaksempurnaan masing-masing dan level kebobrokan sendiri-sendiri, tidak berarti kita kemudian tidak punya hak untuk memberikan komentar, masukan, dan nasihat untuk orang lain.

Memang terkadang mereka terlalu sotoy untuk menasihati, sehingga bisa saja terkesan judging, karena alih-alih mencoba ‘mendiagnosa’ dengan lengkap dan mendengar cerita dari diri kita, mereka terlanjur asik dengan segala pandangan mereka.

Mau jenis sakit dan penyebab sakitnya apa pun, naturnya sama. Tidak ada yang sempurna sehatnya. Bobrok sebagian, atau malah sudah parah bobroknya. Rusak. Tidak pernah 100% baik. Berdosa. Dan merindukan kesehatan. Kesembuhan. 

Harus 100% baik baru boleh menasihati? Harus sinless dan perfect baru boleh saling mengingatkan dan saling ‘menegur’ bahwa pola hidup kita ini sedang mengarahkan kita untuk makin sakit? Atau malah, menutup mata, menganggap bahwa semuanya baik-baik saja, dan tidak perlu saling mengingatkan bahwa kita sakit (dan bisa jadi makin parah sakitnya), kemudian hanya mencoba fokus pada hal-hal yang positif lainnya?

Hanya karena dokter gigi saya sakit (panuan), bukan berarti dia tidak boleh memberikan masukkan kepada saya tentang bagaimana berupaya lebih menjaga kesehatan (area mulut dan gigi) saya.

Saya berterima kasih untuk semua sahabat dan rekan yang sudah membantu saya melihat bagian mana dari diri saya yang sedang tidak sehat, dan terlebih berani menyampaikan dengan terang-terangan bahwa saya sakit.

Maaf kalau saya pernah membuat siapa pun di sekitar saya merasa tidak nyaman bahkan sakit hati karena saya terlalu terang-terangan menyampaikan hasil diagnosa saya, salah sasaran memberikan nasihat atau tidak mulus pendekatannya untuk mengingatkan bahwa teman saya punya penyakit yang harus dibereskan.

Saya hanya ingin kita semua berjuang, tidak menyerah melawan penyakit kita. Jadi, terima kasih juga untuk semua sahabat yang mau berjuang bersama, untuk makin sehat wal 'afiat.

Semua orang sudah berdosa dan jauh dari Allah yang hendak menyelamatkan mereka. ~ Roma 3:23

~

Tulisan ini didedikasikan untuk seorang dokter gigi, sahabat dalam Kristus yang tangguh. Yang tidak pernah kelewatan kesempatan untuk mengingatkan saya kebutuhan saya untuk terus rajin check-up dengan Dokter yang Agung itu.

Friday, July 15, 2016

Pokémon-Go Astray?

Game Pokémon-Go, dan pembahasannya, makin trending.


Saya sebagai seorang Pokémon-lover pun sudah jauh-jauh menunggu dan mengantisipasi permainan ini. Sampai Hari-H gim ini launching, saya kecewa karena gawai saya saat itu belum kompatibel untuk bermain (meski di Indonesia, aplikasinya sendiri juga belum resmi diluncurkan, dan kreatifnya orang Indonesia, termasuk saya, adalah cari aplikasi non-resminya). Kemudian angin segar datang, ketika akhirnya ada berita bahwa gim ini bisa diinstal di OS Intel. Voila. Saya langsung menciptakan karakter gim saya.

Saya semacam nostalgia masa kecil saya (ciyeee, yang udah gedhe). Sambil bermain, saya mengingat nama-nama Pokémon, ‘jurus-jurus’ serangannya, dan lainnya. Saya kembali ke masa-masa SMA dan kuliah. Tidak bermodal game-boy, tapi main emulator di komputer. Mulai dari Pokémon versi Red/Green, sampai yang versi yang mana saya lupa, kemudian saya sudah tidak mengikuti perkembangannya lagi. Tidak hanya bermain gimnya, saya cukup maniak mengikuti serial TV dan mengumpulkan beberapa gambar dan data-data Pokémon. Even, saya ciptain Pokémon versi saya sendiri.

Teringat juga, waktu awal-awal SMP, ada satu teman yang sengaja dan rela memfotokopikan sebendel artikel dari satu edisi majalah Kristen yang pas membahas Pokémon. Isinya: Pokémon adalah game dan tayangan berbahaya, dan seterusnya. Melawan ajaran Kristen. Sarat kesesatan. Padahal waktu itu saya, yang notabene suka berkreasi, ada di salah satu kepanitiaan gereja, dan sukses membuat undangan acara dengan gambar Pikachu! LOL!

Dan, kemarin pun sambil mengantisipasi launching resmi gim ini, sembari juga menduga dan mengantisipasi kegirangan dan kepopuleran aplikasinya, saya dengan yakin menunggu semua berita dan ‘pesan-pesan’ untuk berhati-hati, bahkan yang sampai melarang. Dan, benar, akhirnya ada broadcast-message-nya juga! Penantian saya juga terbukti ketika ada message tambahan lain yang merujuk kasus epilepsi yang dialami penonton serial Pokémon tahun 1997 (yang juga dibahas di majalah yang teman saya copy-kan).

Di pesan pertama yang saya terima, ada beberapa hal yang ‘diingatkan’ supaya orang tua makin berhati-hati kalau-kalau anaknya terlalu asik dengan permainan Pokémon-Go ini. Share privasi dan lokasi, boros kuota, boros baterai, bikin rawan kecelakaan, anak makin kecanduan gawai, dan ortu makin susah mengontrol anaknya adalah beberapa faktor yang disorot.

Saya pun kemudian tertarik menuliskan pendapat balasan saya. Bukan sebagai seorang Pokémon-lover, tapi supaya opini dan sudut pandangnya lebih seimbang.

Share lokasi, kemudian share privasi? Bukannya kita juga sering share lokasi ketika kita (terutama *uhuk* para imigran digital) tidak sadar atau salah mengaktifkan GPS di HP kita, yang kemudian melakukan tracking lokasi sambil jalan. Atau tanpa sadar share lokasi saat browsing dengan google-based search engine. Termasuk geo-tagging foto kita alias membubuhi lokasi di foto yang kita ambil. Juga, jangan lupa untuk kita-kita yang eksis posting status atau foto dengan mencantumkan check-in kita. Kalau mau ada yang jahat, bisa aja dilacak disana.

Boros kuota? Kemarin saya lacak penggunaan kuota data saya (karena saya termasuk pemakai yang ekonomis, supaya tidak jadi fakir Wi-Fi), pemakaian FB dan IG saya lebih boros daripada aplikasi Pokémon-Go. LOL. Bagaimana dengan kita yang hobi share video/klip di Whatsapp? Atau hobi buka youtube, tanpa sadar bahwa paket yang dipake adalah kuota. Boros batre? Fitur GPS yang aktif ditambah koneksi data itu normal sekali kalau baterai cepat habis. Baterai HP tambah boros ketika koneksi sinyal dan data labil.

Bikin rawan kecelakaan karena menatap layar gadget terus? Well, yes, cukup banyak pemakai sembrono yang seperti itu, sampai-sampai bikin kecelakaan. Tapi siapa hayo, yang juga doyan nyupir atau motoran sambil sms-an atau telepon? Ada anak-anak sampai lari-lari ke tengah jalan buat nangkap Pokémon? Mereka yang sembrono memang melakukannya. Tapi, kemarin main gim ini, meski ada di pinggir jalan pun, saya sudah masuk di radius area yang terdeteksi Pokemon-nya, tidak perlu saya berdiri di tengah jalan menunggu Pikachu nongol. Jalan sambil mandang HP mulu? Sama zombie-ish-nya dengan pejalan kaki yang asyik texting-an. Padahal kalau mau diakalin, tinggal nyalain suara notifikasi Pokémon Go-nya, dan pakai earphones. Bunyi notif bisa terdengar disana, lalu kita tinggal menepi (kalau memang niat), dan buka HP.

Hidup jadi makin tidak fokus? Bikin anak makin kecanduan gawai? Tidak perlu sebut-sebut Pokémon-Go pun kalau memang sudah kecanduan, ya, kecanduan. Silakan kerja sama dengan sekolah atau gereja (atau lembaga rohani lainnya) adakan kamp rehabilitasi. Puasa atau detoks gadget. Jangan lupa, berapa banyak kita yang sengaja memberikan gadget daripada anak kita rewel? Atau mungkin kita tidak kecanduan gadget, tapi kita mencandu media, televisi, dan lainnya.

*

Selalu tergelitik, ketika broadcast dan artikel lain semacam ini menyebar, baik Pokémon-Go, maupun topik dan produk lain. Kemudian kita gempar dan Orang Jawa bilangnya, gedandapan plus gelagepan. Tidak siap, dan rawan terbujuk info simpang siur, plus malas untuk cross-check kebenarannya. Kadang nadanya pun lebay, dan sok rohani (tidak jarang juga dikotbahkan di mimbar-mimbar agama!). Bahkan sampai latah ikut nyebarin konsiprasi! Mirip hebohnya dengan ketakutan ketika jaman-jaman komputer mulai personal dan banyak menyebar, karena ada simbol 666. Atau artikel semacam yang tahun lalu bikin ribut tentang konspirasi di balik film Minion.

Saya mendukung sepenuhnya game ini? Tidak juga. Pokémon-Go maupun gim dan media lain punya potensi memberi dampak buruk kalau filter dari diri kita sendiri tidak kuat. Dampak baiknya pun tetap ada. Bukan berarti saya juga sedang mencoba membela gim terbaru ini.

Ketika kita terlalu takut dengan hal-hal baru dan perubahan yang ada, apa kita bisa dan bijak dengan membendung 'kemajuan' gim dan teknologi? Apa semua perubahan dan hal-hal baru juga mau ditanggapi dengan fobia dan kecemasan lebih dahulu? Apa mau mengisolasi hidup kita dari perubahan dan perkembangan yang ada?

Semuanya kembali kepada diri dan tekad kita. Mau main, tapi bisa kontrol diri dan waktu, that's good. Mau tidak main supaya bisa fokus hal-hal yang lain, ya, monggo. Yuk, belajar lebih rajin dikit cari informasi di jaman gugling serba mudah ini, dan tidak buru-buru latah cemas.

*

Btw, nostalgia ke jaman masih main Pokémon, beberapa Pokémon favorit saya itu Dewgong, Pidgey, Mantine, Sandslash, Goldeen, dan Oddish.

Kemajuan game Pokemon-Go saya?

Well, sudah ada beberapa Pokémon yang saya tangkap, ketika kemudian saya kemudian memutuskan untuk menghapus game ini dari gawai saya. Saya mau mengurangi distraksi untuk pikiran dan hidup saya.

.

PS.
I'm not a techie guy. Kalau ada hal-hal teknis seputar IT dan operasinya yang saya salah tuliskan, please kindly tell me. Akan saya koreksi tulisan ini.