Sunday, December 13, 2009

Dan's view at the evaluation of TL...

[FB user please click here as always!]

Hi.

Desember itu bulan yg gembira (it should always be like this) sekaligus sebagai 'The Darkest Month of the year' for teachers...

Gembira karena liburan panjang (harusnya) yg artinya: lebih banyak waktu istirahat, en waktu tidur siang, en waktu begadang yg banyak... Nda gembira berarti karena bulan gelap ini nda ada income buat para guru les... wakakaka, sekaligus kalo mau dilihat kesibukan buat persiapan Natal, ini tetep jadi bulan tersibuk (padahal tiap bulan memang si sok-sibuk menyibukkan diri)... tapi eniwe, nda ada alasan buat berhenti bersyukur ditengah kesibukan ini, en terus berdoa, biar saya will never feel that solitude and loneliness among the multitude and all the busyness.. (For my cousin, jangan protes bilang saya nda bersyukur... Hihihi).

Eniwe, entah kenapa sebener'e sudah ada beberapa topik buat posting, tapi sindrom males ini bikin saya lupa posting. Dan entah kenapa justru topik yg mo saya bahas ini bikin saya semangit, eh, semangat buat nulis disini.

Minggu ini jadi minggu sibuk di sekolah, setelah minggu sibuk gara2 pelaksanaan Ulangan Akhir Semester Ganjil. Nah, seperti biasa, sudah pada antisipasi (baik guru maupun murid) adanya Ulangan Remidi!!!

I WOULD ALWAYS DISAGREE WITH SUCH SYSTEM OF REMEDIAL THINGS.....

Saya nda suka mental pendidik en pelajar jaman sekarang yg banyak berharap en pasrah dengan yg namanya remedial testing, remedial teaching, remedial etc etc... Buat saya kesalahan itu tidak untuk diperbaiki. We learn from our mistake. Yg udah, ya udah. Belajar en improve diri setelah melihat itu. Tapi kenyataannya, sistem remidi semacam ini sudah bikin mental siap diri en improve turun.

Anak-anak sudah selalu terkonsep, "Kalo tes-nya jelek, ah gapapa, tar kan ada remidi, en alhasil selalu naek en tuntas entar..." NO WAY! Saya paling nda mau kalo disuruh remidi terus nilai jelek, asal naikin nilai biar tuntas, biar saya sendiri nda repot...

Guru-guru juga kadang kalo sudah nilainya jelek2, asal kasi tugas remidi, yang kadang njeglek banget level-nya dengan kompetensi yg sedang diuji... Asal aja, biar keliatan ada perbaikan, terus tiba-tiba nilai naek semua... Saya dengar dari sana-sini, banyak yg seperti itu. Anak2 les, anak2 di gereja juga sering pada cerita begitu. Apalagi yg ironi adalah, ada satu anak les tiba2 dikasi tau oleh gurunya (yg katanya killer), "Besok remidi semua satu kelas." Waktu saya tanya, nilainya berapa, eh si anak boro-boro dikasi tahu nilainya. Jarak seminggu, ternyata nilai aselinya jauh di atas KKM, en malah bagus... Gubrak!

Saya masih inget kelas enam SD dulu, ini bakal sangat membekas, karena itu pertama kalinya saya dapet nilai 0 (NOL! ZERO! NOUGHT!), en buat Pendidikan Agama Katolik (remember: saya SD di Tarakanita). Waktu itu sistem pengajarannya masih konvensional (baca: Kolot en monoton). Dua jam seminggu, tiap ketemu kita mulai dengan ulangan sejam, en pelajaran sejam. Buku ulangan dibagi harus ditanda tangan ortu, minggu depan harus dibawa. Nah, apesnya waktu itu saya tidak bawa tu buku ulangan. Sudah keringat dingin, ga bisa mikir ulangan, en alhasil memang ga' boleh ikut ulangan en berbuah dengan satu nilai telor itu... (en akhirnya rata2 di raport jadi enam!) Saya bakal ingat kejadian itu. No remedial teaching. No remedial test. No excuse. No opportunity to redeem my mistake at all...

Saya iri dengan anak2 jaman sekarang. Mereka bisa yang namanya remidi. Saya termasuk salah satu guru yang idealis, en ngasi nilai apa adanya. Sempat tadi pagi pusing, en stuck, memandang dua nilai Nol seorang anak. Tidak ikut ulangan, tidak nyusul, tidak nemui saya. Mau dibagaimanakan?

Kadang saya mikir, apa saya yang kurang jelas dengan konsep remidial things... Atau memang saya yang ternyata masih idealis. Saya paling anti dengan namanya katrol mengatrol en manipulasi nilai. Mau lima milyar, mau sepuluh milyar, never will I do such stupid thing!

Saya tetep bersikukuh, berdiri tegak pada pendirian saya: Learn from your mistakes.

GBU all!