Thursday, June 29, 2017

#ChallengeAccepted: Mendaki Gunung Sindoro

Saya menyadari kalau saya ini terlalu asik jadi anak rumahan, yang kelewat introvert dengan hobi ngadem di ranjang (meski juga sudah pacaran [dan sebenernya tetep hobi dolan, sih]). Beberapa teman dekat tahu ini, dan mereka menantang saya untuk 'keluar'.

Jadi, ketika ada satu sohib nawarin untuk ikut muncak untuk mengisi liburan, saya menerima undangan itu dengan polos. Saya meng-oke-kan ajakan untuk naik Gunung Sindoro.

Hari pendakian mulai mendekat, dan detail hal untuk disiapkan bertambah. Cicik pacar dan sohib-sohib yang tahu saya bakal spent my holidays hiking sudah getting worried plus teasing horornya kemping di gunung. Dan saya telat sadar bahwa saya akan menginap semalam. Di gunung.

Seminggu sebelum berangkat, saya stres. Why?

(1) Saya paling males ikut kemping, bahkan dari jaman SD. (2) Saya sadar saya ndak bakal bisa mandi. And, yes, you know, I've got a mild OCD. (3) Saya rutin boker setiap pagi, kadang ditambah sore juga. Ngebayangin kudu boker di gunung bikin saya kelewat cemas.

Poin ketiga yang paling menghantui saya, sampai saya kudu googling tips boker saat mendaki gunung.

Dua hari sebelum saya naik, saya siap-siap dan belanja beberapa bekal: Listerine, tissue basah (anti bakteri maupun yang biasa), HansaplastAqua (3 botol besar), roti tawar (dua bungkus), Energen, obat-obatan (termasuk salonpas, tolak angin, counterpain, dan Antimo, jaga-jaga kalau saya butuh obat tidur).

Daftar kebutuhan yang perlu disiapkan sudah diinfokan via group WA. Ketika saya cek ulang, sepertinya sudah lengkap. Fokus saya ada di baju dan perlengkapan yang kudu dibawa untuk antisipasi udara dingin (cuy, 2100+ mdpl!) dan makanan. Disarankan peserta bawa Indomie minim tiga bungkus, tapi saya pilih roti tawar. Takut mules karena micin bakmi instan. Teman saya yang tidak tahan dingin sudah wanti-wanti dengan baju yang perlu dibawa. Ransel backpack saya berat karena tiga botol air minum dan penuh pakaian plus sleeping bag.

Peta buta di base camp.
Kami janjian bertemu di meeting point rumah teman jam enam pagi, kemudian melaju menuju base camp di Kledung. Udara di base camp sudah lumayan dingin. Sekitar jam delapan lebih, kami bersebelas mulai mendaki. Kami naik ojek ke pos satu setengah untuk menyingkat waktu. And that was a sensational twenty-five-thousand-rupiah ojek ride! Jalan berbatu-batu dan menanjak diterjang dengan gagah-perkasa-kecepatan-penuh oleh pak ojeknya. Alhasil, saya dan teman-teman kagum-campur-ketakutan-kalau-kalau-terpental.

Siap mendaki!
Pos Dua
Kami melanjutkan berjalan, dan total lebih dari empat jam kami berjalan, sambil beberapa kali berhenti kelelahan, minum, makan, pipis. Pertanyaan standar yang sering saya lontarkan: masih berapa jauh sampai ke pos selanjutnya. Makin ke atas udara makin dingin, saya tetap tidak memakai jaket, karena badan cukup keringatan. Perjalanan ini mengingatkan dengan petualangan yang bikin saya gosong dan lemas ketika saya ikut pergi trip ke Tamong, Kalimantan Barat lima tahun silam. Pendakian Gunung Sumbing lebih terjal daripada rute ke Tamong, tapi tetap sama-sama melelahkan. Herannya: kaki saya tidak pegal, sementara pundak yang kesakitan dan napas tetap ngos-ngosan.


Ranselnya hamil, kata temen.

Titi. Me. And Yosu.
Kami tiba hampir pukul satu siang. Segera kami mulai mendirikan tenda. Tenda saya hanya diisi dua orang, sementara yang lain tiga. Teman setenda saya sudah wanti-wanti supaya saya siap dengar konser ngorok dia di malam hari. Ada beberapa rombongan lain yang juga bermalam di sana, tapi tidak banyak.

Dua tenda di bawah.

Dua tenda di atas. Tenda saya yang kanan.

Mencoba bikin api unggun.
Tidak banyak yang saya lakukan dari siang sampai malam: tidur ayam, jalan sedikit ke atas, balik tenda, ngemil roti tawar, baca PDFs di tab, nonton unduhan klip youtube di HP. Tidak banyak foto-foto saya ambil. Teman-teman di tenda lain ngobrol, cekikikan, main kartu, dan masak. Betewe, sinyal HP koit. Dua hari di gunung itu semacam detoks koneksi internet.

Yosua main kartu.
Hal lain yang bikin saya khawatir: hujan. Sore hari sempat gerimis, tapi cuaca masih aman. Ketika malam tiba, sekitar pukul delapan, saya memutuskan minum Antimo supaya cepat ngantuk. Dan sial: Antimonya tidak bekerja. Saya memaksa memejamkan mata. Celana training panjang saya kelupaan dibawa, jadi saya pakai jeans yang saya bawa. Tiga lapis kaus di badan plus sarung tangan tracking plus syal cukup efektif bikin hangat tubuh saya di dalam sleeping bag.

Sial buat saya yang badannya cukup tinggi (baca: panjang). Teman setenda konser dengan sukses, sementara saya merem melek sepanjang malam, dengan kaki tidak bisa diluruskan. Saya gonta-ganti posisi. Tidur telentang bikin tulang ekor sakit, sementara nyamping bikin tulang pinggul cenut-cenut.

Akhirnya hujan turun cukup deras, dan bikin saya sempat terbangun. Ramalan cuaca cocok untuk malam itu, dan sepertinya memang Tuhan lagi nguji saya: kenyamanan saya digoncang. Tenda saya basah dindingnya, rembes, tapi tidak sampai kemasukan air. Sedikit was-was jadinya saya. Teman tenda lain melapor mau pindah karena tenda mereka kebanjiran, meski akhirnya tidak jadi pindah dan hujan mereda. Ketika terbangun lagi, saya kira sudah jam empat pagi, waktu berburu sunrise, tapi ternyata masih jam satu subuh. Dang.

Jam empat subuh tiba, dan kami sedikit berjalan naik untuk berburu sunrise. Langit masih gelap dan udara super dingin untuk saya sampai ujung jari-jari tangan saya cenut-cenut. Sunrise yang ditunggu akhirnya tiba, dan kami asik berburu foto. (Reminder buat warganet semuanya: jangan lupa menikmati alam, alih-alih sibuk cari pose foto terbaik).


Sunrise hunters

My bro



Tiga jam berlalu, kami memutuskan untuk naik ke puncak, menuju pos empat. Jalur pendakian makin terjal. Saya makin ngos-ngosan sambil terus berpikir bagaimana nanti turunnya melihat jalur yang cukup curam. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti, sementara lima teman lain lanjut ke atas, menuju puncak. Saya turun, bertemu sisa rombongan yang masih asik berfoto dengan pemandangan yang memang memanjakan mata. Puncak gunung berjajar di samping Gunung Sumbing yang megah di seberang mata. Awan membentuk lautan. Cuaca dan langit di atas pun masih cerah.

Mereka yang sampai di puncak.

Dan kami yang turun duluan.




Kami memutuskan untuk berjalan kembali ke tenda. Sudah lebih dari jam sebelah belas siang, dan kelompok pendaki di puncak belum turun. Kami menunggu sampai jam dua belas, sambil saya beberes barang bawaan. Hujan turun, makin menderas. Tenda saya sudah duluan dibereskan, jadi saya pindah ke tenda lain. Sekali lagi Tuhan menguji dengan menggoncang kenyamanan saya--kami.

Akhirnya rombongan dari puncak turun sekitar jam satu, basah-basahan menerjang hujan. Kasihan juga lihat mereka yang ternyata diterjang badai di puncak. Kami memutuskan untuk turun duluan ke base camp, menembus hujan dengan jas hujan. Jalan turun kami seharusnya bisa lebih cepat kalau tidak berhati-hati dengan jalur yang licin karena air hujan.

Kali ini kaki saya mulai pegal, dan tidak ada hal lain yang berputar di otak saya selain pos ojek untuk turun ke base camp, dan ranjang di rumah. Padahal awalnya kami sudah berpikir untuk tidak naik ojek, mengingat pengalaman ojek rasa jet coaster ketika berangkat ditambah hujan yang turun. Setelah meyakinkan pak ojek untuk tidak ngebut, kami pun pasrah untuk naik ojek.

Saya pulang duluan, menembus hari yang mulai malam, memboncengkan adik saya di sepeda motor. Satu dua kali nyasar mengikuti jalur Google Maps yang berbeda dengan jalur arus balik kemarin.

Sempat satu teman bertanya, "Koh Dankur kapok 'gak (naik gunung)?" Jujur, saya menikmati hiking meskipun melelahkan, karena pengalaman dan pemandangannya selalu memuaskan. Tapi saya kapok berkemah. Kemah bukan untuk saya, dan mandi ketika sampai di rumah jadi hal yang paling saya tunggu-tunggu.





Bagaimana dengan boker? Aman. Sampai di rumah pun ternyata juga tidak bisa buang air sebesar-besarnya. Sampai saya selesai menulis ini, saya masih harus berjalan dengan pelan karena kelewat pegal.

Ini pengalaman pertama saya mendaki gunung dan berkemah (sambil berharap ada gunung lain yang bisa didaki, meski tidak sampai puncak, dan berharap tidak harus berkemah). Tantangan sudah diterima dan dilaksanakan. Dan saya boleh berbangga diri, sambil ngedit foto-foto hasil jepretan saya dari HP maupun kamera teman. Kalau tertarik muncak, jangan tanya saya; saya rekomendasikan teman saya yang memang hobi menaklukan gunung.



.

Visit my IG or FB for more photos.

Thursday, January 26, 2017

Buku Pertama 2017: Talk Like Ted [Ulasan Buku]

Salah satu resolusi 2017 saya adalah komitmen beli-dan-baca-sampai-tuntas buku baru. Dan buku yang sebenarnya tidak baru-baru amat, karena sudah beli dari akhir tahun 2016, dan sudah tuntas saya baca adalah Talk Like TED. Hore!

Bukunya sendiri saya beli dari Book Depository. Pengalaman pertama beli buku impor, dan free shipping, cuy! Semacam dag-dig-dug menunggu sampai akhirnya buku ini hadir juga sekitar tiga minggu dari tanggal laporan buku itu sudah dikirim dari UK. Belinya pas diskon dong, ya. 😀 Dan, iya, bukunya full dalam Bahasa Inggris.

Sudah lama saya kenal TED dan segitu banyaknya presentasi-presentasi yang inspiratif. Dan saya suka belajar baik konten yang dipresentasikan maupun gaya presentasi para nara sumber itu sendiri. Jadi, buku ini semacam kitab yang membocorkan rahasia di balik presentasi menarik TED.

Image result for Talk like TED

Carmine Gallo—seorang speaker, penulis, dan pembawa berita—mengupas sembilan kunci penting dari presentasi yang sukses di balik setiap nara sumber TED. Setelah membongkar rahasia presentasi Steve Jobs di buku sebelumnya, Gallo membahas kasus dan contoh yang diambil dari pengalaman presentasi para presenter TED maupun non-presenter TED dalam buku ini. Gallo ciamik menghubungkan contoh kasus dengan poin yang sedang dia tekankan. Dan variasi contoh presentasi TED yang diberikan pun cukup beragam tapi tidak membosankan untuk dibaca (mengingat saya makin kesini bukan penikmat narasi).

Semua diawali dengan satu pernyataan Gallo, "Ideas are the currency of the twenty-first century." Kita semua bertukar ide di jaman ini, dan itu sebabnya penting meng-upgrade diri supaya kita tahu bagaimana kita menyajikan ide kita sehingga orang lain entah percaya atau mengikut apa yang kita katakan,

Image result for Talk like TED

Kebayang pastinya ketika kita bisa mengikuti dengan atusias sambil mengangguk-angguk setuju, sesekali tertawa kecil karena materi yang disampaikan dibumbui humor. Dan pasti juga jelas terbayang pengalaman Anda ketika terduduk bosan, sesekali menguap, karena entah materi yang disampaikan tidak menarik atau gaya pembicara yang emang layak ditinggal pergi.

Buku ini cocok kalau Anda sedang belajar bagaimana presentasi dengan menarik tapi tetap bermakna. Semua dimulai dengan pentingnya berbagi passion. Menularkan passion itu sesuatu yang menyenangkan dan menggairahkan. Tapi itu juga harus dilengkapi dengan keterampilan bercerita, storytelling. Itu kunci kedua. Selain bercerita, Gallo mengingatkan pentingnya juga melibatkan emosi pendengar dalam kita presentasi secara lebih komunikatif layaknya kita sedang bercakap-cakap secara pribadi.

Tiga kunci selanjutnya berhubungan dengan orisinalitas dan kesegaran materi dan style pembawaan presenter. Bahkan untuk materi yang sama, perlu ada kesegaran dan hal baru yang disampaikan kepada audience. Gallo menekankan bahwa otak kita menggemari novelty, sesuatu yang baru, yang melegakan rasa ingin tahu kita. Selanjutnya, contoh-contoh bagaimana membuat pendengar merasa wow juga diulas. Jaw-dropping moments, istilah yang dipakai Gallo, momen yang bikin Anda melongo. Hal-hal menarik itu yang bakal teringat dan mengajak audiens tidak hanya berhenti sampai mendengar tapi juga bertindak. Tidak lupa unsur humor juga menjadi kunci penting. Siapa sih yang tidak suka tertawa dan terhibur?

Bagian terakhir tulisan Gallo dimulai dengan dia mengingatkan pembaca untuk berpegang pada aturan 18-menit. Saya langsung teringat bagaimana pantat saya yang gelisah ketika kombinasi materi-membosankan, gaya-bicara-kaku, dan periode-yang-lama melanda saya yang duduk sebagai penonton alih-alih pendengar seminar yang baik. Mostly juga saya alami mendengarkan kotbah gereja. Uhuk. Mengajak para pendengar untuk menggunakan indera yang beragam juga menjadi faktor penting yang menyukseskan presentasi kita. Dan bab terakhir kembali menyambung ke bab pembuka, passion yang datang dari hati. Ketika presenter berbicara sesuatu yang tidak tulus keluar dari hati, kita bisa merasakan garingnya, kan?

Image result for Talk like TED

Saya terbiasa membaca awal dan akhir sebuah paragraf saja, dan ini bakal bikin saya terseok-seok ketika membaca narasi atau kasus. Tapi Gallo sukses membuat saya menyimak hampir semua contoh presentasi yang dia tuliskan di buku ini. Dan sembilan rahasia presentasi yang sukses, layaknya para presenter TED yang menginspirasi dan bermakna, pasti bakal saya aplikasikan dalam presentasi saya selanjutnya.

Buku ini wajib Anda baca, kalau Anda ini pemimpin, influencer, guru, dosen, marketting dan staf promosi yang doyan presentasi, bahkan para pemimpin agama yang doyan ceramah rohani di depan para jemaatnya. Bahkan saya juga mendorong teman-teman saya yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah, mengingat jaman sekarang makin banyak tugas presentasi, kan? Supaya gurunya dinilai sukses mengadakan pembelajaran yang aktif? Eh.