Tuesday, August 24, 2010

Belajar dari 'mereka'

Hola.

Sebelum menulis posting ini, saya (dgn kurang kerjaan) mencoba recheck arti kata naturalist, dan ternyata saya selama ini salah memakainya. Hm. Seharusnya environmentalist. Saya mengklasifikasikan diri saya masuk environmentalist: seseorang yg percaya dan mendukung pentingnya lingkungan hidup ini, including animals, plants, etc.

Saya paling suka kalo ngamati binatang, tumbuhan, en particularly insects. Paling doyan memfoto serangga or taneman2 warna2i (yang saya 'awetkan [baca: foto] dengan macro-mode serampangan), dan kalo dulu pas kecil paling suka bawa serangga ke rumah, dimasukin toples dan dipelihara, dan berakhir dengan itu serangga terlentang-hadap-atas dengan indahnya, membujur kaku, mati. *tet-tet-tet, tet-tet-tet, tet-tet-tet-tet-tot-tet-tot-tet, tot-tot-tot-tet (ini lagu pengantar jenasah yg sering dikumandangkan kalo ada berita lelayu di kampung itu lewat speaker toa super berisik)*

Eniwe, diantara segala macam serangga saya suka kepik (ladybugs - kenapa juga lady? kok tidak dukebug, ato monseiurbug? ternyata diskriminasi gender terjadi diantara perikeseranggaan) dan kunang-kunang. Sampe sekarang masih kagum kalo liat kunang-kunang (dan sedih karena makin jarang bisa lihat, harus mengucilkan diri ke daerah2 yg banyak sawahnya. En fyi, kunang2 ternyata di Jepang (if im not mistaken) dianggep bawa sial, karena itu dianggep roh yg melayang2. So silly. Binatang cantik gitu dianggep roh halus.)

Kejadian tragis dan menyedihkan terjadi waktu kemaren sempet nongkrong sama temen2 di satu kafe kopi remang2 yg deket sawah, dan disitulah saya menemukan makhluk mungil yang kelap2i itu. Tragisnya adalah ketika saya sedang maen kartu, saya ndongak ke atas dan menemukan itu kunang2 kerlip2, dan beberapa detik kemudian tuh kunang2 dilahap dengan sadisnya oleh seekor cicak tidak berperikekunangkunangan. *tet-tet-tet, tet-tet-tet, tet-tet-tet-tet-tot-tet-tot-tet,tot-tot-tot-tet" 'Eh, itu kunang-kunang... (jeda beberapa detik) dan sudah dimakan cicak...' Hmpf.

Bicara tentang kunang-kunang, ternyata makhluk misterius yang bisa berpendar ini hidupnya memang tragis, walo metamorfosisnya butuh waktu setahun sampe dua tahun, dan melewati masa2 jelek fisik itu (emang larva en pupa kunang2 jauh lebih beast daripada adult imago-nya, waktu dia dewasa), eh dia bisa pamer cahaya sebagai serangga dewasa cuman seminggu sampe maksimal rata2 30 hari. Ckckckck.

Saya ikut empati pada makhluk2 mungil yg berumur pendek itu. Padahal kalo diukur dari awal dia jebrol menetas ya lama ya... wkwkwkwk, cuman kesempatan dia bener2 'dewasa' kok cuma pendek, kesempatan dia bebas, dan bisa terbang seenak wudelnya [kunang2 punya wudel?] dan memamerkan talenta bersinarnya cuman maksimal sebulan.

Bayangkan sodara2! Bayangkan! Sekali dia meronta keluar dari masa pupa-nya, dia langsung divonis oleh dokter kunang yg laennya: 'Sodara Kunangkunangis bin Cacingnyala, umur Anda hidup tinggal tiga puluh hari. Silakan tinggalkan wasiat setelah bokong saya menyala.' Dan dunia runtuh, kilat menyala-nyala keras, hujan turun begitu derasnya selama empat puluh hari empat puluh malam menyambut ratapan si kunang2 malang. Dan dia langsung terbang kencang ke Gram*dia, buat beli buku 100-things-to-do-before-I-die.

Eniwe, lepas dari kunang2 malang, saya paling merinding tapi excited kalo liat perjuangan makhluk lainnya: sea turtle, kura2 laut. Tiap sekali mami kura2 itu jebrol betelor bisa sampe 200 biji (lumayan juga ya buat bisnis ternak telor kura), dan tau kan kalo semuanya langsung dipendem di pasir pante. Nah, habis itu netes telor2, perjuangan berat si nak kura2 yg ratusan jumlahnya dimulai.


Berawal dengan menggali keluar dari pasir, berlari sekuat tenaga, tapi tetep wae lambat (lah yo, wong kura2, ne cepet lak yo pengendara-sepeda-motor-ugal-ugalan-semacam-saya-apalagi-kalo-lagi-kepepet-telat-berangkat-kuliah =p). Tapi tidak cuma masalah fisik larinya, belom ditambah terpaan ombak, karena bahaya lain menghadang: predator. Puluhan mafia2 kepiting en Om-Tante Gull, alias burung laut (terjemahan ngaco). Mereka dengan buas menghancurkan cangkang nak kura2 yg masih lembut, melahap isinya dan melampiaskan napsu duniawi mereka yang liar (hasyah). Mereka yg lolos masuk ke laut pun masi kudu menghadang bahaya lain: shark, hiu! Hmmm... Begitulah liarnya dunia satwa, dunia kita (loh?).

Kenapa ya, makhluk2 mungil, sudah kecil, lemah, eh cepet mati...

Saya tadi tiba2 inget lagu 'Burung Pipit yang kecil, dikasihi Tuhan...' Mungkin ini lagu anak2 sekolah minggu yg sudah tidak asing di telinga kita, dan terdengar lucu saat dinyanyikan. Klise juga mungkin. Ah, tahu. Tapi kadang kita masih ragu juga walau kita bisa nyanyi: 'terlebih diriku dikasihi Tuhan....'

Kalo kura2 aja berjuang, berlari dengan kencang, memaksa diri buat bertahan hidup secara intuisi, walo jelas sekali banyak bahaya yang langsung menghadang begitu mereka yang masih imut ini membuka mata, lahir menapakkan keempat kakinya di dunia. Seleksi alam yang liar langsung berjalan. Kita? Apa hidup ini penuh perjuangan? Seharusnya. Ato kita lebih suka males2an, dan tidak mau berjuang buat hidup ini? Ato kita sebaliknya terlalu takut buat menghadapi kesusahan hidup ini, lebih milih untuk hidup 'aman', tinggal dalam status quo kita yg kadang bikin kita kurang berkembang. Ato lebih seneng menghindari tantangan yg ada, yg padahal kalo kita hadapi bakal improve kita. Takut. Gentar. Padahal kita bisa nyanyi 'terlebih diriku dikasihi Tuhan....''

Tidak hanya dikasihi dan dipelihara, kita ini juga spesial. Lebih spesial dari si Kunangkunangis bin Cacingnyala tadi, yang cuman bertahan hidup maksimal 30 hari. Entah kapan kita bisa hidup, 60 tahun, 70 tahun? Ato mungkin 20 tahun, 10 tahun, bahkan ada bayi yang baru beberapa jam ato menit menikmati udara bumi ini langsung meninggal. Hm. Padahal kita ini bisa dan mampu, dan potensi yg tertanam dalam diri kita tidak sangat terbatas seperti si kunang2 malang yg cuma bisa berpendar dan hidupnya pendek. Nah, apa kita juga sudah merasa berharga dicipta seperti kita sekarang (dan lepas dari kemudian kita menjadi sombong, yang jelas2 salah). Inget, kita dengan mudah bisa nyanyi, 'terlebih diriku dikasihi Tuhan....'

Finally, saya paling suka liat kunang2 malang (kok daritadi saya ngejudge mereka malang ya?) kalo lagi kelap-kelip di tengah malem. Entah di sawah, entah di pohon. Pendarnya lucu, remang-remang, dan jadi hiasan kaya lampu pohon natal. Suasananya jadi tranquil, en saya menikmati pendaran lemah karena reaksi zat kimia di dalem tubuh kunang2. Belajar dari kunang2 malang (lagi?) itu juga, selama ini seberapa maksimal hidup kita sudah menyala? Memberi warna dan terang tersendiri bagi yg melihat sinar kita?

Hmmm... Saya belajar dari makhluk2 imut ini.

Saya berharap kunang-kunang terus ada, kaga pernah musnah or punah walo jumlahnya berkurang. Kalo pun punah, tar saya pasang lampu LED di pantatnya kecoa aja deh, lumayan, biar bikin image kecoa sedikit lebih cool en 'bermanfaat' daripada sekedar binatang item kecil, klimis, rakus gara2 suka makan segalanya, en paling susah diuber, lagian kalo udah mati juga bikin semut2 ngrubung bangkainya... kalo terbang2 bikin orang rumah pada heboh ketakutan lari sendiri... grrr... Ato, hmmm. Mending pasang or lampu cabe plus batre aja, biar badan mereka berat, susah lari en kaga mungkin terbang. Dan *plak* mudah sekali menggeplak atau mites mereka.... MHWAHWAHWAHWAHWA *tawa bangga*


GBU.