Jadi, ketika ada satu sohib nawarin untuk ikut muncak untuk mengisi liburan, saya menerima undangan itu dengan polos. Saya meng-oke-kan ajakan untuk naik Gunung Sindoro.
Hari pendakian mulai mendekat, dan detail hal untuk disiapkan bertambah. Cicik pacar dan sohib-sohib yang tahu saya bakal spent my holidays hiking sudah getting worried plus teasing horornya kemping di gunung. Dan saya telat sadar bahwa saya akan menginap semalam. Di gunung.
Seminggu sebelum berangkat, saya stres. Why?
(1) Saya paling males ikut kemping, bahkan dari jaman SD. (2) Saya sadar saya ndak bakal bisa mandi. And, yes, you know, I've got a mild OCD. (3) Saya rutin boker setiap pagi, kadang ditambah sore juga. Ngebayangin kudu boker di gunung bikin saya kelewat cemas.
Poin ketiga yang paling menghantui saya, sampai saya kudu googling tips boker saat mendaki gunung.
Dua hari sebelum saya naik, saya siap-siap dan belanja beberapa bekal: Listerine, tissue basah (anti bakteri maupun yang biasa), Hansaplast, Aqua (3 botol besar), roti tawar (dua bungkus), Energen, obat-obatan (termasuk salonpas, tolak angin, counterpain, dan Antimo, jaga-jaga kalau saya butuh obat tidur).
Daftar kebutuhan yang perlu disiapkan sudah diinfokan via group WA. Ketika saya cek ulang, sepertinya sudah lengkap. Fokus saya ada di baju dan perlengkapan yang kudu dibawa untuk antisipasi udara dingin (cuy, 2100+ mdpl!) dan makanan. Disarankan peserta bawa Indomie minim tiga bungkus, tapi saya pilih roti tawar. Takut mules karena micin bakmi instan. Teman saya yang tidak tahan dingin sudah wanti-wanti dengan baju yang perlu dibawa. Ransel backpack saya berat karena tiga botol air minum dan penuh pakaian plus sleeping bag.
Peta buta di base camp. |
Siap mendaki! |
Pos Dua |
Ranselnya hamil, kata temen. |
Titi. Me. And Yosu. |
Dua tenda di bawah. |
Dua tenda di atas. Tenda saya yang kanan. |
Mencoba bikin api unggun. |
Yosua main kartu. |
Sial buat saya yang badannya cukup tinggi (baca: panjang). Teman setenda konser dengan sukses, sementara saya merem melek sepanjang malam, dengan kaki tidak bisa diluruskan. Saya gonta-ganti posisi. Tidur telentang bikin tulang ekor sakit, sementara nyamping bikin tulang pinggul cenut-cenut.
Akhirnya hujan turun cukup deras, dan bikin saya sempat terbangun. Ramalan cuaca cocok untuk malam itu, dan sepertinya memang Tuhan lagi nguji saya: kenyamanan saya digoncang. Tenda saya basah dindingnya, rembes, tapi tidak sampai kemasukan air. Sedikit was-was jadinya saya. Teman tenda lain melapor mau pindah karena tenda mereka kebanjiran, meski akhirnya tidak jadi pindah dan hujan mereda. Ketika terbangun lagi, saya kira sudah jam empat pagi, waktu berburu sunrise, tapi ternyata masih jam satu subuh. Dang.
Jam empat subuh tiba, dan kami sedikit berjalan naik untuk berburu sunrise. Langit masih gelap dan udara super dingin untuk saya sampai ujung jari-jari tangan saya cenut-cenut. Sunrise yang ditunggu akhirnya tiba, dan kami asik berburu foto. (Reminder buat warganet semuanya: jangan lupa menikmati alam, alih-alih sibuk cari pose foto terbaik).
Sunrise hunters |
My bro |
Tiga jam berlalu, kami memutuskan untuk naik ke puncak, menuju pos empat. Jalur pendakian makin terjal. Saya makin ngos-ngosan sambil terus berpikir bagaimana nanti turunnya melihat jalur yang cukup curam. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti, sementara lima teman lain lanjut ke atas, menuju puncak. Saya turun, bertemu sisa rombongan yang masih asik berfoto dengan pemandangan yang memang memanjakan mata. Puncak gunung berjajar di samping Gunung Sumbing yang megah di seberang mata. Awan membentuk lautan. Cuaca dan langit di atas pun masih cerah.
Mereka yang sampai di puncak. |
Dan kami yang turun duluan. |
Kami memutuskan untuk berjalan kembali ke tenda. Sudah lebih dari jam sebelah belas siang, dan kelompok pendaki di puncak belum turun. Kami menunggu sampai jam dua belas, sambil saya beberes barang bawaan. Hujan turun, makin menderas. Tenda saya sudah duluan dibereskan, jadi saya pindah ke tenda lain. Sekali lagi Tuhan menguji dengan menggoncang kenyamanan saya--kami.
Akhirnya rombongan dari puncak turun sekitar jam satu, basah-basahan menerjang hujan. Kasihan juga lihat mereka yang ternyata diterjang badai di puncak. Kami memutuskan untuk turun duluan ke base camp, menembus hujan dengan jas hujan. Jalan turun kami seharusnya bisa lebih cepat kalau tidak berhati-hati dengan jalur yang licin karena air hujan.
Kali ini kaki saya mulai pegal, dan tidak ada hal lain yang berputar di otak saya selain pos ojek untuk turun ke base camp, dan ranjang di rumah. Padahal awalnya kami sudah berpikir untuk tidak naik ojek, mengingat pengalaman ojek rasa jet coaster ketika berangkat ditambah hujan yang turun. Setelah meyakinkan pak ojek untuk tidak ngebut, kami pun pasrah untuk naik ojek.
Saya pulang duluan, menembus hari yang mulai malam, memboncengkan adik saya di sepeda motor. Satu dua kali nyasar mengikuti jalur Google Maps yang berbeda dengan jalur arus balik kemarin.
Sempat satu teman bertanya, "Koh Dankur kapok 'gak (naik gunung)?" Jujur, saya menikmati hiking meskipun melelahkan, karena pengalaman dan pemandangannya selalu memuaskan. Tapi saya kapok berkemah. Kemah bukan untuk saya, dan mandi ketika sampai di rumah jadi hal yang paling saya tunggu-tunggu.
Bagaimana dengan boker? Aman. Sampai di rumah pun ternyata juga tidak bisa buang air sebesar-besarnya. Sampai saya selesai menulis ini, saya masih harus berjalan dengan pelan karena kelewat pegal.
Ini pengalaman pertama saya mendaki gunung dan berkemah (sambil berharap ada gunung lain yang bisa didaki, meski tidak sampai puncak, dan berharap tidak harus berkemah). Tantangan sudah diterima dan dilaksanakan. Dan saya boleh berbangga diri, sambil ngedit foto-foto hasil jepretan saya dari HP maupun kamera teman. Kalau tertarik muncak, jangan tanya saya; saya rekomendasikan teman saya yang memang hobi menaklukan gunung.
.
Visit my IG or FB for more photos.