[FB user, please, please, please, I beg... click HERE!!!!! :) ]
[Disela-sela kesibukan en segala tuntutan, curi kesempatan buat istirahat en ngepost... :) ]
Sunday Afternoon
Daniel suka Sunday afternoon,
the real one...
Sunday afternoon,
setelah segala hal yang membuat penat
dan segala pekerjaan yang bejibun,
dan yang terasa berat...
Sunday afternoon,
harusnya kosong,
memang sudah diplan bolong,
tanpa kerjaan tentunya, dong.
Sunday afternoon,
saya selalu yang memulai,
lemas terkulai,
tidur dengan malas dan lunglai.
Sunday afternoon,
adik saya ikut tertular
setelah bermain game yang kasar
akhirnya menyusul terkapar.
Sunday afternoon,
papa pun ikutan nimbrung
tidur daripada bingung
menghadapi kerjaan setumpuk gunung.
Sunday afternoon,
terakhir mama yang berbaring
dengan santai, gerah, tanpa guling
di sofa depan dia tertidur sering...
Sunday afternoon,
tanpa gangguan seharusnya,
selalu saya tunggu setiap minggunya,
tidur tenang, tentram, tanpa pikiran semuanya...
Kesimpulannya:
Sunday afternoon jadi masa malas-malasan keluarga saya... :)
Monday, January 11, 2010
Thursday, January 7, 2010
Dan's Story: Angels without wings
[For FB user please click here, please, please, please...]
ANGELS WITHOUT WINGS
Abe
Oke. Siang ini cukup dingin. Dan aku menunggu teman-temanku disini, di depan kantin sekolah. Dan aku agak capek. Dan Victor sedang membeli pop juice. Dan Roni, masih Roni masih belum nampak. Dan aku cukup kesal dengan Roni.
Kemarin dia tidak datang pertemuan KTB. Alasannya simple: dia pergi main dengan teman-temannya yang lain. Dan aku sempat melihat dia merokok di satu warteg waktu aku pulang dari gereja. Yah, memang agak susah, dan aku sudah lama bersabar. Waktu ku-SMS pun balesannya cuma: He4… Sudah beberapa kali dia makin malas, dan dia (yang aku takutkan) makin tertarik untuk kembali ke kehidupan tidak jelasnya yang lama.
Itu dia. Roni, berjalan tersenyum padaku. Aku mencoba memasang senyum juga, tapi susah. Tapi okelah, kupaksa mulut ini tersenyum. Oke, biar aku interogasi dia. ‘Hai, Be! Sudah siap? Mana Victor?’ dia memulai menyapa.
‘Jadi, kenapa tadi malem kamu malah pergi maen dengan teman-teman kamu yang lama, yang malah ngajak kamu ngerokok lagi. Dan jangan bilang kalo kamu coba-coba minum lagi. Dan kenapa itu kamu anggap lebih penting daripada kelompok sel?’ Aku bisa melihat Roni kaget, dan senyumnya melemah.
‘Eits…’ Roni mengacungkan jarinya ke atas, di depan wajahku, seolah menyuruhku diam. ‘Jangan marah. Dan kamu nda’ boleh marah begitu. Biar yang di atas yang marah padaku saja…’ Dia tersenyum lagi, meringis lebar. Ada yang mengalir deras di dalam diriku, ke kepalaku, dan semakin memanas.
‘Hei, itu Victor!’ Roni mengalihkan pandangan ke samping. ‘Oh, dia membawakanku juice!’ Aku tidak tahu apa yang membuat tanganku secara refleks mengepal, kemudian melayangkan tinju itu ke muka Roni. Dan aku tidak peduli ketika Roni mengaduh keras. Aku tidak peduli ketika dia terjungkal, jatuh terduduk. Aku tidak peduli ketika Victor berlari kaget melihat kejadian itu. Dan aku tidak peduli beberapa anak yang terkaget. Aku tidak peduli dengan ketidakpedulianku. Dan aku berjalan, masih dengan kepala panas.
Roni
Hari ini kami—aku, Abe, dan Victor—mau pergi bareng ke distro baju, buat pesen kostum klub basket kami. Mereka pastinya sudah menunggu di depan kantin. ‘Hei! Sampai ketemu nanti malam. Di warteg Ndeso Gubug itu lagi, kan? Oke, man?!’ aku berteriak pada teman-temanku, dan melambai, sambil berlari kecil meninggalkan mereka yang masih di depan kelas.
Itu dia, Abe berdiri disana. Tapi mana Victor? Kami mau naik mobil Victor. Yah, semoga kostum itu cepat jadi. Sudah lama kami merencanakan ini. Dan desain buatan Abe keren. Aku tersenyum pada Abe. Dia melihatku dan membalas senyum yang aneh.
‘Hai, Be! Sudah siap? Mana Victor?’ aku bertanya. Tapi Abe bukan memberi jawaban yang semestinya. Dia malah memasang tampang galak itu. Dan mulai memberondong aku dengan ucapannya.
‘Jadi, kenapa tadi malem kamu malah pergi maen dengan teman-teman kamu yang lama, yang malah ngajak kamu ngerokok lagi. Dan jangan bilang kalo kamu coba-coba minum lagi. Dan kenapa itu kamu anggap lebih penting daripada kelompok sel?’ aku kaget. Dan mulai bingung. Tidak bisakah Abe santai sedikit. Lagipula bukan urusannya kalo aku ngerokok dan kumpul bareng-bareng temen band lamaku. Oke. Mari cairkan suasana ini. Aku mengacungkan jariku, mencoba menyuruhnya diam, stop, dan mendengarkan aku.
‘Eits… Jangan marah. Dan kamu nda’ boleh marah begitu. Biar yang di atas yang marah padaku saja…’ Aku tersenyum, dan menoleh, mencoba mengalihkan pandanganku. Itu dia Victor. ‘Hei, itu Victor!’ aku berkata. Dia membawa satu cup pop juice di tangannya. Semoga dia membelikanku satu. ‘Oh, dia membawakanku juice!’ Aku kembali berbalik pada Abe, mencoba bertanya, tapi tiba-tiba saja, semua terasa sakit, hidungku panas. ‘Ouch! Aduh!’ Aku terjengkang ke belakang, duduk di lantai. Mencoba memandang ke depan, pada Abe yang sudah berjalan cepat pergi, sambil mengusap-usap hidungku. Tidak ada darah. Tapi sakit sekali. Kulihat Victor berlari, dan mendekat, membantuku berdiri.
‘Apa yang terjadi? Kenapa Abe?’ dia bertanya padaku kebingungan. Tapi aku juga sama bingungnya.
Victor
Tiga pop juice. ‘Trims, mbak.’ Kataku pada mbak penjaga kantin. Aku, Abe, dan Roni siang ini mau pergi ke distro tempat kami akan memesan baju basket untuk klub basket gereja. Aku berjalan pelan, sambil menyeruput juice apokat yang kupesan. Itu mereka, Abe dan Roni di depan sana. Rupanya Roni sudah datang. Kulihat Roni berbicara pada Abe, dia menoleh ke aku. Aku tersenyum. Mengangkat dua cup yang aku pesan untuk mereka. Hei. Kenapa itu?
Aku melihat jelas Abe yang memukul Roni, tampaknya cukup serius, dan keras. Ouch. Sepertinya sakit. Oh. Roni terjatuh. Aku harus menolongnya. Aku berlari cepat. Kenapa Abe? Tidak biasanya dia bisa memukul orang seperti itu. Apalagi Roni. Mereka kan sahabat dekat.
‘Apa yang terjadi?’ Aku bertanya, sambil mencoba membantu Roni berdiri sementara dia mengusap-usap hidungnya yang memerah. ‘Kenapa Abe?’ Aku kebingungan.
Roni
Well. Rencana batal. Victor mengantarkanku pulang. Aku masih bingung kenapa Abe memukulku. Memang apa salahku? Aku mencoba memikirkannya. Apa gara-gara aku sudah lama tidak datang kelompok KTB. Tapi apa sebegitu pentingnya sampai dia marah begitu? Aku duduk terdiam, di samping Victor yang menyetir mobilnya.
Ringtone sms HP-ku berbunyi. Aku membukanya. Dari Abe rupanya. Menyebalkan.
‘Oh. Jadi, memangnya apa yang terjadi tadi?’ dia bertanya. Aku menghela napas sebentar. Mengusap pelan hidungku yang walau sudah tidak sesakit tadi tapi masih nyeri.
‘Dia tadi…’ aku mulai menceritakan kejadiannya.
Victor
‘Dari Abe. Minta maaf.’ Itu yang diucapkan Roni tiba-tiba ketika HP-nya berbunyi. Aku mengantar Roni pulang. Tidak jadi pergi ke distro. Mending biar dia istirahat dulu. Aku masih shock juga tadi Abe bisa memukul si Roni. Jarang-jarang.
‘Oh. Jadi, memangnya apa yang terjadi tadi?’ aku bertanya, mencoba cari tahu alasannya.
‘Dia tadi bertanya padaku,’ jelas Roni yang mengusap hidungnya, ‘kenapa kemarin aku tidak datang KTB, dan kenapa aku malah kumpul dengan teman-teman bandku. Mungkin dia marah karena itu.’
‘Ah, ga mungkin cuman karena itu.’ Aku mencoba membela Abe. Aku juga tahu seperti apa itu Abe.
‘Well, kenapa ya?’ Kulihat Roni mencoba berpikir. ‘Tadi aku coba menjawab, supaya dia tidak terus-terusan menyalahkanku. Aku menyuruhnya supaya tidak marah padaku. Biar Tuhan saja yang marah. Dan dia tiba-tiba memukul hidungku ini.’
‘Oh,’ kataku dengan paham. Aku mengangguk dan tersenyum. ‘Bodoh. Kamu yang bodoh.’ Kulihat Roni kaget dan bingung. ‘Seharusnya itu kamu jangan pernah ngomong itu. Kamu sahabat dekatnya Abe, kan? Apa Abe belum pernah cerita? Oh, kamu tidak datang waktu KTB, waktu dia share cerita itu.’
‘Cerita apa?’ Roni bertanya makin bingung. Aku menjelaskannya, mencoba mengingat-ingat lagi apa yang dulu disharingkan Abe.
Roni
Oh. Jadi begitu. Abe memberi tahu cerita panjang itu. Aku tahu kenapa dia jadi marah, yang tidak biasa buat orang semacam Abe, dan kenapa dia menonjokku.
Abe dulu berteman dengan Johan, di kelas satu SMA, sebelum dia berteman denganku. Johan tidak jauh beda denganku, atau malah lebih parah. Lebih nakal. Lebih badung. Suka ngebut-ngebutan. Dari SMP memang sudah dicap anak nakal dan terkenal diantara guru. Kok mau ya, Abe berteman dengan Johan. Aku berpikir. Eh, kok mau juga ya, Abe berteman denganku?
Sampai akhirnya suatu hari Abe juga agak jengkel ketika Johan agak ‘nyeleneh’ lagi. Dan Johan mengucapkan kata-kata itu juga. “Biar Tuhan yang marah, jangan kamu yang marah. Kamu nda’ boleh marah.” Tapi Abe tidak memukulnya. Curang (pikirku dengan iri). Dan Johan masih sama, tidak berubah kelakuannya, malas ke gereja, malas persekutuan, walau Abe tidak pernah berhenti mengingatkannya dan mengajaknya.
Dua hari setelah kejadian itu. Johan kecelakaan motor. Akibat kebut-kebutan di jalan. Abe shock dan merasa bersalah. Dia merasa belum bisa membawa Johan pada Tuhan. Itu jadi satu trauma yang besar, satu klimaks tragedi di masa lalu Abe. Aku cuma bisa termenung setelah Victor menceritakan kisah ini.
“Kamu harusnya bersyukur punya sahabat Abe. He cares for you. Jesus too.” pesan Victor ketika aku turun dari mobilnya. Aku terus mengingat pesan ini. Sepanjang sore. Sepertinya memang aku pantas mendapat pukulan itu. Sudah jam delapan malam. Dan tidak biasanya aku bisa hanya tiduran di dalam kamar, memikirkan sesuatu. Aku mengambil HP-ku. Sebaiknya aku ‘menyapa’ Abe. Dan aku mulai mengetik pesan di HP-ku, sambil bersyukur punya sahabat seperti Abe.
Abe
Aku habis latihan paduan suara di gereja. Tapi lagu yang harusnya ceria dan menghibur itu tidak bisa mengusir pikiran yang dari tadi siang memenuhi kepalaku. Sepertinya aku salah sudah memukul Roni. Aku harusnya bisa lebih bersabar dan bijaksana.
“Mau pulang sekarang, kak?” Yoga datang padaku. Aku harus mengantarnya pulang ke panti. Sudah jam delapan malam; aku melihat jam tanganku.
“Oke. Ayo.” Aku berjalan turun ke basement, motorku diparkir disana. Yoga berjalan.
“Kok sepertinya dari tadi Kak Abe bingung? Ada masalah?” Yoga bertanya padaku. Aku memandangnya, dan hanya tersenyum, mencoba mencari alasan. Tapi tiba-tiba HP-ku berbunyi; ada SMS. Aku membukanya, sementara Yoga masih menunggu jawabanku. Dari Roni. Aku membaca pelan dalam kepalaku. Cermat, dan aku mulai tersenyum.
“Memang ada masalah, tadi,” aku menjawab Yoga, yang sepertinya sudah menyerah menunggu jawabanku. Tapi dia kemudian tertarik mendengar jawabanku lagi. “Tapi sekarang sudah selesai.” Aku tersenyum pada Yoga, sambil menyerahkan helmnya. “Oke, sekarang kita beli martabak manis dulu, oleh-oleh buat anak panti. Setuju?”
“Beneran, kak?” tanya Yoga senang. Hatiku juga sedang senang, jadi kenapa tidak membagi keceriaan ini buat yang lainnya? “Siap, bos… ayo kita beli martabak datang bulan.”
“Martabak Terang Bulan, kali,” Kataku pada Yoga.
[Cerita ini salah satu cerpen saia yang ditulis sebenernya buat naskah soliDEO bulan September 2009. Tapi karena satu dan lain hal jadi batal diterbitkan... Enjoy it, n plis feel free to leave your comments.]
ANGELS WITHOUT WINGS
Abe
Oke. Siang ini cukup dingin. Dan aku menunggu teman-temanku disini, di depan kantin sekolah. Dan aku agak capek. Dan Victor sedang membeli pop juice. Dan Roni, masih Roni masih belum nampak. Dan aku cukup kesal dengan Roni.
Kemarin dia tidak datang pertemuan KTB. Alasannya simple: dia pergi main dengan teman-temannya yang lain. Dan aku sempat melihat dia merokok di satu warteg waktu aku pulang dari gereja. Yah, memang agak susah, dan aku sudah lama bersabar. Waktu ku-SMS pun balesannya cuma: He4… Sudah beberapa kali dia makin malas, dan dia (yang aku takutkan) makin tertarik untuk kembali ke kehidupan tidak jelasnya yang lama.
Itu dia. Roni, berjalan tersenyum padaku. Aku mencoba memasang senyum juga, tapi susah. Tapi okelah, kupaksa mulut ini tersenyum. Oke, biar aku interogasi dia. ‘Hai, Be! Sudah siap? Mana Victor?’ dia memulai menyapa.
‘Jadi, kenapa tadi malem kamu malah pergi maen dengan teman-teman kamu yang lama, yang malah ngajak kamu ngerokok lagi. Dan jangan bilang kalo kamu coba-coba minum lagi. Dan kenapa itu kamu anggap lebih penting daripada kelompok sel?’ Aku bisa melihat Roni kaget, dan senyumnya melemah.
‘Eits…’ Roni mengacungkan jarinya ke atas, di depan wajahku, seolah menyuruhku diam. ‘Jangan marah. Dan kamu nda’ boleh marah begitu. Biar yang di atas yang marah padaku saja…’ Dia tersenyum lagi, meringis lebar. Ada yang mengalir deras di dalam diriku, ke kepalaku, dan semakin memanas.
‘Hei, itu Victor!’ Roni mengalihkan pandangan ke samping. ‘Oh, dia membawakanku juice!’ Aku tidak tahu apa yang membuat tanganku secara refleks mengepal, kemudian melayangkan tinju itu ke muka Roni. Dan aku tidak peduli ketika Roni mengaduh keras. Aku tidak peduli ketika dia terjungkal, jatuh terduduk. Aku tidak peduli ketika Victor berlari kaget melihat kejadian itu. Dan aku tidak peduli beberapa anak yang terkaget. Aku tidak peduli dengan ketidakpedulianku. Dan aku berjalan, masih dengan kepala panas.
Roni
Hari ini kami—aku, Abe, dan Victor—mau pergi bareng ke distro baju, buat pesen kostum klub basket kami. Mereka pastinya sudah menunggu di depan kantin. ‘Hei! Sampai ketemu nanti malam. Di warteg Ndeso Gubug itu lagi, kan? Oke, man?!’ aku berteriak pada teman-temanku, dan melambai, sambil berlari kecil meninggalkan mereka yang masih di depan kelas.
Itu dia, Abe berdiri disana. Tapi mana Victor? Kami mau naik mobil Victor. Yah, semoga kostum itu cepat jadi. Sudah lama kami merencanakan ini. Dan desain buatan Abe keren. Aku tersenyum pada Abe. Dia melihatku dan membalas senyum yang aneh.
‘Hai, Be! Sudah siap? Mana Victor?’ aku bertanya. Tapi Abe bukan memberi jawaban yang semestinya. Dia malah memasang tampang galak itu. Dan mulai memberondong aku dengan ucapannya.
‘Jadi, kenapa tadi malem kamu malah pergi maen dengan teman-teman kamu yang lama, yang malah ngajak kamu ngerokok lagi. Dan jangan bilang kalo kamu coba-coba minum lagi. Dan kenapa itu kamu anggap lebih penting daripada kelompok sel?’ aku kaget. Dan mulai bingung. Tidak bisakah Abe santai sedikit. Lagipula bukan urusannya kalo aku ngerokok dan kumpul bareng-bareng temen band lamaku. Oke. Mari cairkan suasana ini. Aku mengacungkan jariku, mencoba menyuruhnya diam, stop, dan mendengarkan aku.
‘Eits… Jangan marah. Dan kamu nda’ boleh marah begitu. Biar yang di atas yang marah padaku saja…’ Aku tersenyum, dan menoleh, mencoba mengalihkan pandanganku. Itu dia Victor. ‘Hei, itu Victor!’ aku berkata. Dia membawa satu cup pop juice di tangannya. Semoga dia membelikanku satu. ‘Oh, dia membawakanku juice!’ Aku kembali berbalik pada Abe, mencoba bertanya, tapi tiba-tiba saja, semua terasa sakit, hidungku panas. ‘Ouch! Aduh!’ Aku terjengkang ke belakang, duduk di lantai. Mencoba memandang ke depan, pada Abe yang sudah berjalan cepat pergi, sambil mengusap-usap hidungku. Tidak ada darah. Tapi sakit sekali. Kulihat Victor berlari, dan mendekat, membantuku berdiri.
‘Apa yang terjadi? Kenapa Abe?’ dia bertanya padaku kebingungan. Tapi aku juga sama bingungnya.
Victor
Tiga pop juice. ‘Trims, mbak.’ Kataku pada mbak penjaga kantin. Aku, Abe, dan Roni siang ini mau pergi ke distro tempat kami akan memesan baju basket untuk klub basket gereja. Aku berjalan pelan, sambil menyeruput juice apokat yang kupesan. Itu mereka, Abe dan Roni di depan sana. Rupanya Roni sudah datang. Kulihat Roni berbicara pada Abe, dia menoleh ke aku. Aku tersenyum. Mengangkat dua cup yang aku pesan untuk mereka. Hei. Kenapa itu?
Aku melihat jelas Abe yang memukul Roni, tampaknya cukup serius, dan keras. Ouch. Sepertinya sakit. Oh. Roni terjatuh. Aku harus menolongnya. Aku berlari cepat. Kenapa Abe? Tidak biasanya dia bisa memukul orang seperti itu. Apalagi Roni. Mereka kan sahabat dekat.
‘Apa yang terjadi?’ Aku bertanya, sambil mencoba membantu Roni berdiri sementara dia mengusap-usap hidungnya yang memerah. ‘Kenapa Abe?’ Aku kebingungan.
Roni
Well. Rencana batal. Victor mengantarkanku pulang. Aku masih bingung kenapa Abe memukulku. Memang apa salahku? Aku mencoba memikirkannya. Apa gara-gara aku sudah lama tidak datang kelompok KTB. Tapi apa sebegitu pentingnya sampai dia marah begitu? Aku duduk terdiam, di samping Victor yang menyetir mobilnya.
Ringtone sms HP-ku berbunyi. Aku membukanya. Dari Abe rupanya. Menyebalkan.
Ron. Sori. Ga maksud ky gt. Ok. Sori y. Hidungmu gpp?Menyebalkan. Aku cuma bisa membalas pendek: ‘Y, gpp’. ‘Dari Abe. Minta maaf.’ Aku memberi tahu Victor walau dia tidak bertanya.
‘Oh. Jadi, memangnya apa yang terjadi tadi?’ dia bertanya. Aku menghela napas sebentar. Mengusap pelan hidungku yang walau sudah tidak sesakit tadi tapi masih nyeri.
‘Dia tadi…’ aku mulai menceritakan kejadiannya.
Victor
‘Dari Abe. Minta maaf.’ Itu yang diucapkan Roni tiba-tiba ketika HP-nya berbunyi. Aku mengantar Roni pulang. Tidak jadi pergi ke distro. Mending biar dia istirahat dulu. Aku masih shock juga tadi Abe bisa memukul si Roni. Jarang-jarang.
‘Oh. Jadi, memangnya apa yang terjadi tadi?’ aku bertanya, mencoba cari tahu alasannya.
‘Dia tadi bertanya padaku,’ jelas Roni yang mengusap hidungnya, ‘kenapa kemarin aku tidak datang KTB, dan kenapa aku malah kumpul dengan teman-teman bandku. Mungkin dia marah karena itu.’
‘Ah, ga mungkin cuman karena itu.’ Aku mencoba membela Abe. Aku juga tahu seperti apa itu Abe.
‘Well, kenapa ya?’ Kulihat Roni mencoba berpikir. ‘Tadi aku coba menjawab, supaya dia tidak terus-terusan menyalahkanku. Aku menyuruhnya supaya tidak marah padaku. Biar Tuhan saja yang marah. Dan dia tiba-tiba memukul hidungku ini.’
‘Oh,’ kataku dengan paham. Aku mengangguk dan tersenyum. ‘Bodoh. Kamu yang bodoh.’ Kulihat Roni kaget dan bingung. ‘Seharusnya itu kamu jangan pernah ngomong itu. Kamu sahabat dekatnya Abe, kan? Apa Abe belum pernah cerita? Oh, kamu tidak datang waktu KTB, waktu dia share cerita itu.’
‘Cerita apa?’ Roni bertanya makin bingung. Aku menjelaskannya, mencoba mengingat-ingat lagi apa yang dulu disharingkan Abe.
Roni
Oh. Jadi begitu. Abe memberi tahu cerita panjang itu. Aku tahu kenapa dia jadi marah, yang tidak biasa buat orang semacam Abe, dan kenapa dia menonjokku.
Abe dulu berteman dengan Johan, di kelas satu SMA, sebelum dia berteman denganku. Johan tidak jauh beda denganku, atau malah lebih parah. Lebih nakal. Lebih badung. Suka ngebut-ngebutan. Dari SMP memang sudah dicap anak nakal dan terkenal diantara guru. Kok mau ya, Abe berteman dengan Johan. Aku berpikir. Eh, kok mau juga ya, Abe berteman denganku?
Sampai akhirnya suatu hari Abe juga agak jengkel ketika Johan agak ‘nyeleneh’ lagi. Dan Johan mengucapkan kata-kata itu juga. “Biar Tuhan yang marah, jangan kamu yang marah. Kamu nda’ boleh marah.” Tapi Abe tidak memukulnya. Curang (pikirku dengan iri). Dan Johan masih sama, tidak berubah kelakuannya, malas ke gereja, malas persekutuan, walau Abe tidak pernah berhenti mengingatkannya dan mengajaknya.
Dua hari setelah kejadian itu. Johan kecelakaan motor. Akibat kebut-kebutan di jalan. Abe shock dan merasa bersalah. Dia merasa belum bisa membawa Johan pada Tuhan. Itu jadi satu trauma yang besar, satu klimaks tragedi di masa lalu Abe. Aku cuma bisa termenung setelah Victor menceritakan kisah ini.
“Kamu harusnya bersyukur punya sahabat Abe. He cares for you. Jesus too.” pesan Victor ketika aku turun dari mobilnya. Aku terus mengingat pesan ini. Sepanjang sore. Sepertinya memang aku pantas mendapat pukulan itu. Sudah jam delapan malam. Dan tidak biasanya aku bisa hanya tiduran di dalam kamar, memikirkan sesuatu. Aku mengambil HP-ku. Sebaiknya aku ‘menyapa’ Abe. Dan aku mulai mengetik pesan di HP-ku, sambil bersyukur punya sahabat seperti Abe.
Abe
Aku habis latihan paduan suara di gereja. Tapi lagu yang harusnya ceria dan menghibur itu tidak bisa mengusir pikiran yang dari tadi siang memenuhi kepalaku. Sepertinya aku salah sudah memukul Roni. Aku harusnya bisa lebih bersabar dan bijaksana.
“Mau pulang sekarang, kak?” Yoga datang padaku. Aku harus mengantarnya pulang ke panti. Sudah jam delapan malam; aku melihat jam tanganku.
“Oke. Ayo.” Aku berjalan turun ke basement, motorku diparkir disana. Yoga berjalan.
“Kok sepertinya dari tadi Kak Abe bingung? Ada masalah?” Yoga bertanya padaku. Aku memandangnya, dan hanya tersenyum, mencoba mencari alasan. Tapi tiba-tiba HP-ku berbunyi; ada SMS. Aku membukanya, sementara Yoga masih menunggu jawabanku. Dari Roni. Aku membaca pelan dalam kepalaku. Cermat, dan aku mulai tersenyum.
Kita harus mengakui bahwa malaikat ituAku menutup SMS itu. Tersenyum senang, bersyukur.
memang benar ada, nyata.
Tapi ketika mereka tidak bersayap,
kita menyebut mereka SAHABAT.
Thanks, buddy.
PS:Thanks buat tonjokkan tadi. He4… :)
“Memang ada masalah, tadi,” aku menjawab Yoga, yang sepertinya sudah menyerah menunggu jawabanku. Tapi dia kemudian tertarik mendengar jawabanku lagi. “Tapi sekarang sudah selesai.” Aku tersenyum pada Yoga, sambil menyerahkan helmnya. “Oke, sekarang kita beli martabak manis dulu, oleh-oleh buat anak panti. Setuju?”
“Beneran, kak?” tanya Yoga senang. Hatiku juga sedang senang, jadi kenapa tidak membagi keceriaan ini buat yang lainnya? “Siap, bos… ayo kita beli martabak datang bulan.”
“Martabak Terang Bulan, kali,” Kataku pada Yoga.
Wednesday, January 6, 2010
Dan's writing a 'drama script'... :)
[For FB user, please click here...]
Happy X'mas and Happy New Year to you!
So, kemaren Desember (yang melelahkan, no comment, no protest, pls) sudah berlalu, en tahun baru langsung disambut Camp Guru (Camp deh, bukan Retreat seperti nama yg diberikan) langsung ada dalam jadwal saya. Dari retret tiga hari dua malam itu, ada banyak hal, en entah kenapa malah memberikan saya ide untuk menulis post ini... Enjoy it!
Teachers' Camp: Teachers Unleashed...
Disclaimer: Tulisan ini hanya untuk guyon, kalo ada yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi, ya emang begitulah yang terjadi... Kalo ada yang tersinggung mohon maaf yang sebesar-besarnya, tapi tulisan ini sudah melewati proses editting dan sensor yang telah melenyapkan segala bagian yang a-nonoh dan tidak pantas dikonsumsi oleh batita maupun sepuh di atas 80 tahun. Thanks.
SETTING:
Kaliurang, Wisma Kana, wisma yang cukup besar, dua tingkat, dan sekitarnya. Udara sejuk, kadang berawan mendung dan gerimis mengundang. Aula Wisma persegi panjang. Kamar peserta di Wisma, kecil, empat-kali-tiga (?) yang dipaksa diisi dobel bed (yang sebenernya satu bed itu diturunin dari spring bed yg laen, sehingga spring bed yg asli jadi atos) dan saking memaksanya pintu ga bisa dibuka selebar-lebarnya karena nabrak kasur.
KARAKTER:
1. Daniel (DK), cowok 24 tahun, paling muda dalem camp yang in fact bikin shock banyak orang karena ber-mutu (ber-muka tua), pendiem dan lebih banyak waktu sendirian buatngupil tidur...
ACT 1, SCENE 1
SETTING: Kamar 11, plus selasar depan kamar lantai 2. Pagi menjelang siang setelah perjalanan, dan unpacking barang-barang bawaan.
DK: (Agak ngantuk. Sudah ganti celana pendek. Memutuskan untuk turun ke aula, en ngecek keadaan Wisma Kana. Buka pintu kamar, dan sontak menangkap en membau sesuatu yang menyengat yang bikin dirinya males keluar kamar...)
Para Pak Guru: (Duduk dengan santai, mengobrol di selasar kamar. Ketawa. Ngobrol. NGEROKOK dengan santainya. Asap rokok jadi penghias pemandangan selasar.)
DK: (Tahan napas dengan tersiksa, berjalan menerobos asap, en berpikir bahwa inilah kesuksesan para GURU memberikan sesuatu yang layak di GUgu dan di tiRU dari mereka.)
ACT 2, SCENE 1
SETTING: Kamar 11, habis mandi pagi.
DK: (Habis mandir, bersihin en rapiin kasur deket pintu.)
Pak Guru: Oi, selamat pagi... (dengan santainya berjalan mantap dari luar, menerobos masuk lewat [baca: menginjak-injak] kasur yang tadinya sudah rapi en bersih, ke kasurnya yang lebih tinggi, dan dengan indahnya meninggalkan cap kakinya yang masih basah dengan beberapa ornamen pasir.)
DK: (Melongo heran)
ACT 2, SCENE 2
SETTING: Siang hari. Para peserta sedang Outbound mengelilingi kawasan di sekitar Wisma Kana. Kelompok Dankuur en Kelompok Hebat sedang bersantai-santai menunggu giliran di satu pos.
Bu Guru 1: Eh, ada uler. Ada uler. (Menunjuk ke bawah.)
Bu Guru 2: Ow, lempar ke Pak Guru itu. Yang ijo bajunya. Dia takut.
DK: (Senyum licik mau iseng. Pura-pura ngambil ulet pake tongkat, en ngelempar.) Ini ya, pak? Awas pak, uler! (Pak Guru berbaju ijo lari menjauh padahal posisi dirinya sendiri juga udah jauh dari kelompok saking merindingnya denger kata uler.
Pak Guru Laennya: Opo to? Oh, ming uler koyo ngene. (Menunduk, ambil uler pake tangan langsung.)
Guru-guru termasuk DK: (Lari ngacir liat si bapak ambil uler pake jari tangannya dan sekarang ketawa nakut-nakutin semuanya.)
ACT 2, SCENE 3
SEETING: Sore hari, Kamar 11.
DK: (Mau mandi, sudah siap dengan segala senjata perang untuk mandi. Melangkah masuk dengan mantapnya ke kamar mandi, dan sesaat terinfeksi HIV [Hasrat Ingin Vivis]. Membuka tutup toilet duduk, dan shock ada beberapa benda a-nonoh yang melayang dengan indahnya disana. Buru-buru pengin keluar en muntah...)
ACT 2, SCENE 4
SETTING: Siang hari, waktu session, peserta mengisi aula yang agak sempit en panas.
DK: (Mendengar Pak RC dengan seksama, en sesaat perhatian teralih ke satu guru yang duduk di depannya, en tiba-tiba berdiri en berjalan keluar. Tidak begitu acuh selanjutnya. Perhatian tertuju lagi ke guru yang tadi keluar sekarang masuk dengan sesuatu di tangannya. Mencoba kembali mendengarkan Pak RC.)
Bu Guru: (KREEEK... Membuka sesuatu, bungkusan.)
DK: (Mengamati guru yang sekarang sedang membuka bungkusan, yang ternyata bungkusan berlabel ceriping)
Bu Guru: (Melihat DK yang sekarang sedang mengamatinya. Tersenyum.) Mau? Biar nda ngantuk.
DK: (Geleng plus senyum. Berpikir bahwa boleh bawa sangu, en sesaat berpikir boleh mencoba sangu pop-mie dalem Sessi).
ACT 2, SCENE 5
SETTING: Aula, another session, guru-guru sudah mulai exhausted.
Pak RC: (Menyampaikan materi dengan semangat, dan seperti biasa bersenjatakan senyum en gurauan plus segala banyolan yang bisa bikin peserta ngguyu.) ... itu karena saya sadar siapa saya di depan Yesus ... (Terus nyampein materi. Mbanyol.) ... ya itu rahasia saya dengan Yesus...
Bu-Guru-yang-duduk-sebelah-DK: (Ngomong setengah bisik dengan kenceng ke DK.) Gayamu. Memang'e pernah ketemu Yesus po?
DK: (Shocked. Diem. Tampang luar senyum, tapi dalem otak ketawa ngakak dan sekaligus di waktu yang sama mikir keras banget...)
ACT 2, SCENE 6
SETTING: Malem hari, waktu Dedication Service.
DK: (Mengamati keadaan sekitar. Lampu temaram bikin mata DK tidak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba kaget denger sesuatu yang unik.)
Seorang Bapak Tua yang Karena Kedudukannya Sepatutnya Dihormati dan Dihargai: (Dengan volume yang tidak begitu keras.) NGGROOOOOOKKKK...
DK: (Mengamati dengan keras, melihat si Bapak kepalanya terkulai ke belakang, kemudian tangannya bergerak-gerak kecil, mulutnya sesekali mbuka tutup kaya ikan mas koki. Berpikir bahwa Dedication Service juga efektif untuk waktu istirahat.)
ACT 2, SCENE 7
SETTING: Malem hari, habis Dedication Service.
Para Peserta: (Masih haru. Beberapa dengan mata basah karena air mata. Beberapa peserta kembali ke tempat duduk dari posisi duduk di lantainya.)
MC: Yah, bapak ibu, ada hari ini ada yang spesial untuk seorang rekan kita...
DK: (Sudah bisa menangkap apa yang akan terjadi, dan heran dengan yang terjadi 10-15 menit selanjutnya ketika semua haru biru en temaram suasana emosional en sentimentil dedication service itu berubah 180 derajat menjadi sorak-sorak dan guyonan karena perayaan ulang tahun seorang rekan guru. Berpikir dalam hati: Oh, begini toh habis Dedication Service... Hm... Beda budaya kali, ya...?)
ACT 3, SCENE 1
SETTING: Sessi di pagi hari. Para peserta dapet tugas untuk sharing personal Action Plan.
DK: (Barusan keluar ambil obat suplemen di kamar, balek lagi ke Aula. Ketemu Pak RC di depan pintu aula.)
Pak RC: Ayo, Dankuur! Kamu Bisa!
DK: (Senyum agak cengok.) Bisa apanya, Pak?
Pak RC: Ah, kamu itu potensial sekali tapi baru 30% potensi yang kamu kembangin.
DK: (Tambah cengok dan menyadari dengan sangat bahwa perkataan Pak RC bakal menghantui pikirannya bahkan sampe setelah camp sudah selesai.)
ACT 3, SCENE 2
SETTING: Siang hari. Kebaktian Penutup.
Pak Eka: Jadi Bapak dan Ibu. Mahkota yang sudah Anda susun dari kertas lipat jadi lambang seperti mahkota yang dipercayakan untuk kita. Ada yang bilang ini seperti mahkota duri. Ada harga yang harus dibayar. Ini mahkota yang mengingatkan kita akan mahkota yang akan kita terima nanti kalau kita setia dengan panggilan tugas pelayanan kita. Dan untuk itu kita akan memakainya bersama setelah rekan-rekan perwakilan akan dipakaikan mahkotanya.
DK: (Merasa bahwa ada yang ga enak di dalem hati.)
Pak Eka: Dan sebagai perwakilan, kami undang dua guru masing-masing dari Magelang maupun Klaten. Yang paling tua dan yang paling muda.
DK: (Perasaan ga enaknya nyata. Celingak-celinguk sambil tetap diam.)
Pak Eka: Dari Magelang?
Pak Guru SMP: Tertua Bu Giarti, dan termuda ini, Pak Kris.
Pak Guru SMA: Bukan, Pak Dankuur.
Pak Guru SMP: Pak Kris tahun berapa?
Pak Kris: Delapan Empat.
Bu Guru SMA: Pak Dankuur delapan lima.
Pak Eka: Ya, Bu Giarti dan Pak Dankuur silakan maju.
DK: (Maju dengan senyum garing, menyadari banyak guru Klaten yang pastinya kaget dan meragukan mana yang termuda dan mana yang tertua dan mungkin terbalik.)
ACT 3, SCENE 3
SETTING: Siang hari. Habis kebaktian penutup. Aula sontak jadi sentimentil en emosional. Para guru saling jabat, peluk, dan menangis, apalagi lintas: Magelang-Klaten.
DK: (Jadi pengamat yang baik setelah memberi banyak salam, terutama ke guru-guru dari Klaten. Sekarang berpikir bahwa Dedication Service kalah jauh sentimentil dan emosional-nya daripada Farewell ini. Sementara banyak guru cewek yang masih sesenggukan nangis sambil peluk rekan-rekannya.)
ACT 3, SCENE 4
SETTING: (Di depan kamar lantai 1, para guru menikmati makan duren sambil menunggu waktu pulang ke Magelang.)
DK: Enyak-enyak-enyak (Sambil menikmati duren.)
Pak Guru Berkumis: (Habis menikmati satu buah, dan masih membawa satu bagian kulit durian di tangannya dengan dua buah lain di dalam cekungan kulit itu, berdiri dekat dengan tempat sampah. Dengan santainya membuang jauh biji durian ke tanah.)
DK: Pak, ini sampah! Pie to malah dibuang sembarangan ke sana!
Pak Guru Berkumis: (Tampang sok cengok.) Oh! Sapa, ya, yang buang sampah sembarangan? Hayo sapa?
DK: (Senyum sinis. Berpikir heran dan menemukan satu lagi alasan mengapa guru layak diguGU dan ditiRU.)
Happy X'mas and Happy New Year to you!
So, kemaren Desember (yang melelahkan, no comment, no protest, pls) sudah berlalu, en tahun baru langsung disambut Camp Guru (Camp deh, bukan Retreat seperti nama yg diberikan) langsung ada dalam jadwal saya. Dari retret tiga hari dua malam itu, ada banyak hal, en entah kenapa malah memberikan saya ide untuk menulis post ini... Enjoy it!
Teachers' Camp: Teachers Unleashed...
Disclaimer: Tulisan ini hanya untuk guyon, kalo ada yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi, ya emang begitulah yang terjadi... Kalo ada yang tersinggung mohon maaf yang sebesar-besarnya, tapi tulisan ini sudah melewati proses editting dan sensor yang telah melenyapkan segala bagian yang a-nonoh dan tidak pantas dikonsumsi oleh batita maupun sepuh di atas 80 tahun. Thanks.
SETTING:
Kaliurang, Wisma Kana, wisma yang cukup besar, dua tingkat, dan sekitarnya. Udara sejuk, kadang berawan mendung dan gerimis mengundang. Aula Wisma persegi panjang. Kamar peserta di Wisma, kecil, empat-kali-tiga (?) yang dipaksa diisi dobel bed (yang sebenernya satu bed itu diturunin dari spring bed yg laen, sehingga spring bed yg asli jadi atos) dan saking memaksanya pintu ga bisa dibuka selebar-lebarnya karena nabrak kasur.
KARAKTER:
1. Daniel (DK), cowok 24 tahun, paling muda dalem camp yang in fact bikin shock banyak orang karena ber-mutu (ber-muka tua), pendiem dan lebih banyak waktu sendirian buat
ACT 1, SCENE 1
SETTING: Kamar 11, plus selasar depan kamar lantai 2. Pagi menjelang siang setelah perjalanan, dan unpacking barang-barang bawaan.
DK: (Agak ngantuk. Sudah ganti celana pendek. Memutuskan untuk turun ke aula, en ngecek keadaan Wisma Kana. Buka pintu kamar, dan sontak menangkap en membau sesuatu yang menyengat yang bikin dirinya males keluar kamar...)
Para Pak Guru: (Duduk dengan santai, mengobrol di selasar kamar. Ketawa. Ngobrol. NGEROKOK dengan santainya. Asap rokok jadi penghias pemandangan selasar.)
DK: (Tahan napas dengan tersiksa, berjalan menerobos asap, en berpikir bahwa inilah kesuksesan para GURU memberikan sesuatu yang layak di GUgu dan di tiRU dari mereka.)
ACT 2, SCENE 1
SETTING: Kamar 11, habis mandi pagi.
DK: (Habis mandir, bersihin en rapiin kasur deket pintu.)
Pak Guru: Oi, selamat pagi... (dengan santainya berjalan mantap dari luar, menerobos masuk lewat [baca: menginjak-injak] kasur yang tadinya sudah rapi en bersih, ke kasurnya yang lebih tinggi, dan dengan indahnya meninggalkan cap kakinya yang masih basah dengan beberapa ornamen pasir.)
DK: (Melongo heran)
ACT 2, SCENE 2
SETTING: Siang hari. Para peserta sedang Outbound mengelilingi kawasan di sekitar Wisma Kana. Kelompok Dankuur en Kelompok Hebat sedang bersantai-santai menunggu giliran di satu pos.
Bu Guru 1: Eh, ada uler. Ada uler. (Menunjuk ke bawah.)
Bu Guru 2: Ow, lempar ke Pak Guru itu. Yang ijo bajunya. Dia takut.
DK: (Senyum licik mau iseng. Pura-pura ngambil ulet pake tongkat, en ngelempar.) Ini ya, pak? Awas pak, uler! (Pak Guru berbaju ijo lari menjauh padahal posisi dirinya sendiri juga udah jauh dari kelompok saking merindingnya denger kata uler.
Pak Guru Laennya: Opo to? Oh, ming uler koyo ngene. (Menunduk, ambil uler pake tangan langsung.)
Guru-guru termasuk DK: (Lari ngacir liat si bapak ambil uler pake jari tangannya dan sekarang ketawa nakut-nakutin semuanya.)
ACT 2, SCENE 3
SEETING: Sore hari, Kamar 11.
DK: (Mau mandi, sudah siap dengan segala senjata perang untuk mandi. Melangkah masuk dengan mantapnya ke kamar mandi, dan sesaat terinfeksi HIV [Hasrat Ingin Vivis]. Membuka tutup toilet duduk, dan shock ada beberapa benda a-nonoh yang melayang dengan indahnya disana. Buru-buru pengin keluar en muntah...)
ACT 2, SCENE 4
SETTING: Siang hari, waktu session, peserta mengisi aula yang agak sempit en panas.
DK: (Mendengar Pak RC dengan seksama, en sesaat perhatian teralih ke satu guru yang duduk di depannya, en tiba-tiba berdiri en berjalan keluar. Tidak begitu acuh selanjutnya. Perhatian tertuju lagi ke guru yang tadi keluar sekarang masuk dengan sesuatu di tangannya. Mencoba kembali mendengarkan Pak RC.)
Bu Guru: (KREEEK... Membuka sesuatu, bungkusan.)
DK: (Mengamati guru yang sekarang sedang membuka bungkusan, yang ternyata bungkusan berlabel ceriping)
Bu Guru: (Melihat DK yang sekarang sedang mengamatinya. Tersenyum.) Mau? Biar nda ngantuk.
DK: (Geleng plus senyum. Berpikir bahwa boleh bawa sangu, en sesaat berpikir boleh mencoba sangu pop-mie dalem Sessi).
ACT 2, SCENE 5
SETTING: Aula, another session, guru-guru sudah mulai exhausted.
Pak RC: (Menyampaikan materi dengan semangat, dan seperti biasa bersenjatakan senyum en gurauan plus segala banyolan yang bisa bikin peserta ngguyu.) ... itu karena saya sadar siapa saya di depan Yesus ... (Terus nyampein materi. Mbanyol.) ... ya itu rahasia saya dengan Yesus...
Bu-Guru-yang-duduk-sebelah-DK: (Ngomong setengah bisik dengan kenceng ke DK.) Gayamu. Memang'e pernah ketemu Yesus po?
DK: (Shocked. Diem. Tampang luar senyum, tapi dalem otak ketawa ngakak dan sekaligus di waktu yang sama mikir keras banget...)
ACT 2, SCENE 6
SETTING: Malem hari, waktu Dedication Service.
DK: (Mengamati keadaan sekitar. Lampu temaram bikin mata DK tidak bisa melihat dengan jelas. Tiba-tiba kaget denger sesuatu yang unik.)
Seorang Bapak Tua yang Karena Kedudukannya Sepatutnya Dihormati dan Dihargai: (Dengan volume yang tidak begitu keras.) NGGROOOOOOKKKK...
DK: (Mengamati dengan keras, melihat si Bapak kepalanya terkulai ke belakang, kemudian tangannya bergerak-gerak kecil, mulutnya sesekali mbuka tutup kaya ikan mas koki. Berpikir bahwa Dedication Service juga efektif untuk waktu istirahat.)
ACT 2, SCENE 7
SETTING: Malem hari, habis Dedication Service.
Para Peserta: (Masih haru. Beberapa dengan mata basah karena air mata. Beberapa peserta kembali ke tempat duduk dari posisi duduk di lantainya.)
MC: Yah, bapak ibu, ada hari ini ada yang spesial untuk seorang rekan kita...
DK: (Sudah bisa menangkap apa yang akan terjadi, dan heran dengan yang terjadi 10-15 menit selanjutnya ketika semua haru biru en temaram suasana emosional en sentimentil dedication service itu berubah 180 derajat menjadi sorak-sorak dan guyonan karena perayaan ulang tahun seorang rekan guru. Berpikir dalam hati: Oh, begini toh habis Dedication Service... Hm... Beda budaya kali, ya...?)
ACT 3, SCENE 1
SETTING: Sessi di pagi hari. Para peserta dapet tugas untuk sharing personal Action Plan.
DK: (Barusan keluar ambil obat suplemen di kamar, balek lagi ke Aula. Ketemu Pak RC di depan pintu aula.)
Pak RC: Ayo, Dankuur! Kamu Bisa!
DK: (Senyum agak cengok.) Bisa apanya, Pak?
Pak RC: Ah, kamu itu potensial sekali tapi baru 30% potensi yang kamu kembangin.
DK: (Tambah cengok dan menyadari dengan sangat bahwa perkataan Pak RC bakal menghantui pikirannya bahkan sampe setelah camp sudah selesai.)
ACT 3, SCENE 2
SETTING: Siang hari. Kebaktian Penutup.
Pak Eka: Jadi Bapak dan Ibu. Mahkota yang sudah Anda susun dari kertas lipat jadi lambang seperti mahkota yang dipercayakan untuk kita. Ada yang bilang ini seperti mahkota duri. Ada harga yang harus dibayar. Ini mahkota yang mengingatkan kita akan mahkota yang akan kita terima nanti kalau kita setia dengan panggilan tugas pelayanan kita. Dan untuk itu kita akan memakainya bersama setelah rekan-rekan perwakilan akan dipakaikan mahkotanya.
DK: (Merasa bahwa ada yang ga enak di dalem hati.)
Pak Eka: Dan sebagai perwakilan, kami undang dua guru masing-masing dari Magelang maupun Klaten. Yang paling tua dan yang paling muda.
DK: (Perasaan ga enaknya nyata. Celingak-celinguk sambil tetap diam.)
Pak Eka: Dari Magelang?
Pak Guru SMP: Tertua Bu Giarti, dan termuda ini, Pak Kris.
Pak Guru SMA: Bukan, Pak Dankuur.
Pak Guru SMP: Pak Kris tahun berapa?
Pak Kris: Delapan Empat.
Bu Guru SMA: Pak Dankuur delapan lima.
Pak Eka: Ya, Bu Giarti dan Pak Dankuur silakan maju.
DK: (Maju dengan senyum garing, menyadari banyak guru Klaten yang pastinya kaget dan meragukan mana yang termuda dan mana yang tertua dan mungkin terbalik.)
ACT 3, SCENE 3
SETTING: Siang hari. Habis kebaktian penutup. Aula sontak jadi sentimentil en emosional. Para guru saling jabat, peluk, dan menangis, apalagi lintas: Magelang-Klaten.
DK: (Jadi pengamat yang baik setelah memberi banyak salam, terutama ke guru-guru dari Klaten. Sekarang berpikir bahwa Dedication Service kalah jauh sentimentil dan emosional-nya daripada Farewell ini. Sementara banyak guru cewek yang masih sesenggukan nangis sambil peluk rekan-rekannya.)
ACT 3, SCENE 4
SETTING: (Di depan kamar lantai 1, para guru menikmati makan duren sambil menunggu waktu pulang ke Magelang.)
DK: Enyak-enyak-enyak (Sambil menikmati duren.)
Pak Guru Berkumis: (Habis menikmati satu buah, dan masih membawa satu bagian kulit durian di tangannya dengan dua buah lain di dalam cekungan kulit itu, berdiri dekat dengan tempat sampah. Dengan santainya membuang jauh biji durian ke tanah.)
DK: Pak, ini sampah! Pie to malah dibuang sembarangan ke sana!
Pak Guru Berkumis: (Tampang sok cengok.) Oh! Sapa, ya, yang buang sampah sembarangan? Hayo sapa?
DK: (Senyum sinis. Berpikir heran dan menemukan satu lagi alasan mengapa guru layak diguGU dan ditiRU.)
Subscribe to:
Posts (Atom)