Tuesday, September 23, 2014

6 x 4 dan 4 x 6

Jadi, sepertinya berita tentang soal PR matematika anak SD sedang ribut dibicarakan (silakan check berita ini, ini, atau yang ini), dan tidak sedikit yang ikutan berkomentar maupun membahasnya. Saya yang notabene seorang pendidik pun pengin berkomentar. :P

Baru awal bulan September ini saya membahas konsep perkalian dengan anak les saya yang duduk di kelas 7 SMP (well, yes, saya juga ngajar les matematika buat anak SMP). Di buku paket yang disusun pemerintah (untuk Kurikulum 2013) jelas ditulis konsep dan contoh dari operasi perkalian itu.

Tapi ketika kemudian membandingkan dengan artikel dari internet dan buku pegangan siswa dari luar, ternyata konsepnya bisa saja berbeda-beda. Jadi mana yang benar? Saya tidak akan membahasnya disini, karena memang bukan ahli, tapi karena berangkat dari buku paket yang semula saya baca, saya setuju dengan konsep itu. Memang ketika membaca 4 x 6, kita akan mengucapkan empat kali enam, jadi ada enam sebanyak empat kali.





Lepas dari benar dan salah (lah wong beda profesor saja juga beda pendapat, kok) kasus ini tetap menarik untuk dikomentari. Hihihi.

Para komentator berdebat dan mostly berbicara membandingkan antara mana yang lebih penting: konsep (dan proses) atau hasil. Banyak yang berpendapat bahwa hasil itu yang lebih utama, dan tidak perlu dibikin repot yang penting akhir dan hasilnya sama. Siswa boleh diajarkan cara yang paling efisien dan mudah dipahami. Well, ya, memang benar. Tapi tidak sedikit juga yang berpegang pada pendapat mereka bahwa konsep juga penting. Tidak salah juga ketika dibilang konsep dan proses menemukan hasil itu perlu diajarkan, supaya siswa tahu bagaimana proses berpikir dan menemukan hasil itu.

Selama ini, ketika mengajar di kelas ataupun ngelesin, saya lebih mengingatkan murid-murid saya untuk memikirkan tujuan belajar dan konteks belajar itu sendiri. Kalau mengenal dan memahami konsep atau proses itu sedang jadi tujuan belajar, ya, perlu dong mereka tahu hal itu. Kalau bicara tentang penerapan dan hasil sehingga tidak perlu terlalu dalam membingungkan masalah konsep dan teori, ya, ajarkan hal itu di kelas. Dan saya juga tidak pernah lupa bertanya dan mengingatkan murid les saya bagaimana gurunya di kelas mengenalkan konsep ataupun mekanisme dan cara lain yang sering dipakai atau diajarkan guru di kelas, karena buat saya memahami dan menyesuaikan dengan pola atau cara guru juga penting.

Saya tidak kemudian mengajarkan anak-anak untuk jadi conformist, atau punya mental asal bapak/ibu senang. Tapi kenyataannya banyak guru yang cukup kolot, dan memaksa siswa hanya mengikuti cara dan pemahaman yang dipakainya, padahal ada cara dan pemahaman lain yang sebenarnya tidak salah untuk digunakan. Dan saya juga tidak sedang meminta siswa semata-mata tunduk dan tidak punya hak bicara. 'Kalau sempat, coba tanyakan baik-baik apa boleh dengan cara begini atau dibuat seperti ini,' usul saya. 

Sedih memang ketika guru sendiri yang malah membatasi pemikiran kritis dan kreatif siswa, lepas dari tujuan belajar yang saya sebutkan di atas. Para guru tidak mau tahu dan mendengar, dan lebih ngotot dengan cara (kuno) mereka. Misal cara menulis yang harus sampai detail dan lengkap titik-koma, atau bahkan sampai hal mendasar seperti angka delapan itu ditulis dari atas, tengah, atau bawah. Hayo, kalian nulis angka delapan bagaimana? (Saya sih dari atas).

Saya tidak tahu persis, apakah memang konsep jadi penekanan sang guru yang memberi nilai 20 untuk PR si siswa. Tapi kalau pun itu tentang konsep, sang guru perlu (atau mungkin sudah) mengecheck apakah memang konsep itu tertanam dengan baik. Dan apakah memang porsi pemahaman konsep itu besar dan mempengaruhi komposisi nilai akhir dibandingkan dengan nilai kompetensi/materi lainnya yang diajarkan.

Bicara hasil dari perkalian, memang hasilnya sama. 4 x 6 = 6 x 4 = 24 (bukan enam belas seperti yang katanya salah ditulis oleh Pak Tiffie); ini sifat komutatif perkalian. Tetapi sekali lagi, apakah memang fokus pembelajaran sedang pada konsep dan proses memahami perkalian itu sendiri, ataukah sekedar pada hasil. Kalau semua pembelajaran kemudian hanya dimaknai hasilnya saja, buat saya pendidikan itu sendiri gagal, karena saya meyakini belajar itu sebuah proses. Kalau cuma hasil dan produk (juga nilai tes) yang jadi tujuan belajar, ya, kita sedang menyuburkan banyak bimbel (atau perlu dikoreksi namanya menjadi bimtes [bimbingan tes] atau bimuji [bimbingan ujian]).

Kesempatan dimana para siswa bisa tersenyum dan mendapatkan momen 'aha' mereka, ketika mereka sendiri paham dan mengerti mengapa mereka bisa mendapatkan atau menghasilkan sesuatu, itu yang penting buat saya dalam belajar. Itu yang juga bisa mendorong mereka, kita, untuk lebih banyak belajar dan menggali. Mereka sendiri yang kemudian akan menggemari kegiatan belajar dan menemukan.

Sisi lain yang saya amati adalah cara memberi dan mengkomunikasikan koreksi ataupun feedback dari sang guru kepada siswa, dan juga orang tua (atau dalam kasus ini sang kakak [so sweet banget kakaknya peduli dengan adiknya]). Mungking sang guru lelah, dan berbekal senjata ampuhnya (baca: bolpoin merah), dia mantap memberikan coretan-coretan merah itu, dan angka 20 besar. Tanpa ada komentar apa-apa, tanpa ada masukan yang setidaknya menenangkan atau menghibur, dan lain sebagainya. Buat saya ini cukup mematikan semangat siswa, sih. 

Misal sang guru, atau si kakak, kemudian membangun komunikasi yang baik, mungkin kasusnya tidak akan seramai ini. Dan ternyata memang mereka berkomunikasi dan si kakak sudah minta maaf. Wow. Tapi dunia medsos sudah keburu heboh, dan ramai, dan kita--saya--ikut-ikutan komen. Entah itu komen yang membangun, komen yang mengutuk dan membodoh-bodohkan pihak mana pun, atau komen yang malah memancing keingintahuan untuk belajar perkalian lebih lagi. 

Again, ini bukan kasus pertama, setelah kasus Mbak Florence dan nota makan seafoodketika hal yang dianggap simpel diunggah ke medsos kemudian menjadi ramai, berkembang dan menyebar dengan cepat. Media surat kabar pun membahas dan menayangkan kasus ini. Kita diingatkan betapa kuat pengaruh dan peran medsos untuk menyebarkan informasi. Jadi, belajar lebih bijak, bukan sembrono, menggunakan medsos perlu diajarkan juga. Atau malah mungkin ada yang tertarik untuk jadi terkenal secara sensasional melalui medsos? 

Anyway, sekian pembahasan Pak Guru tentang 4 x 6. Kalau tidak ada pertanyaan, minggu depan kita ulangan.  

Ciao.


No comments: