Okay, let's say bahwa adik saya phobia durian. Lihat durian sudah mual-mual, kemudian instantly gatal-gatal dan bentol-bentol. Kalau sudah tidak tahan, bisa tambah akut dan fatal. Lihat saja sudah begitu, apalagi disuruh makan.
Kemudian, misal ada teman cewek yang naksir dia, jatuh cinta, ke adik saya. Cinta yang tulus, pengin bikin seneng adik saya. Dan strategi dia adalah kenalan dengan kokoh-nya. Supaya bisa gali informasi, termasuk kebiasaan, dll, dll, dari adik saya. Dia sendiri terang-terangan ngomong ke saya pengin kenalan dan serius menjalin relasi dengan adik saya. Strategi yang cukup jitu, kan, supaya lebih mulus PDKT-nya?
Sayangnya (atau bagusnya bagi saya), cewek ini suka durian! Dan dia semacam sedikit kecanduan gitu (bayangkan bahwa durian tidak musiman, tapi bisa berbuah sepanjang masa).
Saya terang-terangan wanti-wanti dia dari awal. Tidak menyalahkan dia untuk kegemarannya dengan durian; simply supaya dia aware dan mau menerima kenyataan. Bukan untuk bikin dia putus asa dan mundur gegara satu perkara urusan buah berduri yang nyam-nyam ini.
Akhir kata mereka jadian. Saling sayang. Saling cinta. Komitmen untuk bangun relasi. Adik saya tahu faktanya bahwa si cewek gemar durian. Dan, fyi, si cewek tetap gemar durian, dan sering sakaw durian.
Adik saya benci dia? Tidak. Tinggalkan dia? Tidak. Dia lihat ketulusan si cewek mencintai dia. Dia lihat komitmen dia untuk bersama-sama membangun relasi.
Si cewek sering curhat ke saya, tentang sakaw-nya dia ketika vakum dari mengonsumsi durian. Dan kami sama-sama berdoa supaya bisa menahan diri untuk tidak menyimpan, pamer, dan makan durian dekat-dekat adik saya. (Lebay dikit biarin, yah?).
Jadi ada pergumulan hebat. Di satu sisi, dia sayang adik saya, tapi dia juga gemar makan durian.
Tapi emang cinta mengalahkan segalanya; kasih sayangnya si cewek ke adik saya ini hebat. Dia mau berusaha keras untuk terus mengurangi, dan mengurangi kebiasaan makan duriannya. Susah? Iya. Bisa dilakukan? Bisa. Kenapa mau demikian? Karena dia sayang adik saya.
Ngomong opo to ini DK sebenernya?
Let's replace the idea of durians with sins. Dan adik saya dengan Tuhan.
Saya tahu Tuhan alergi-dan-benci dengan dosa. Saya tahu teman sayang dan ingin dekat dengan Tuhan. Saya tahu dia (atau kami) sama-sama ingin bertumbuh makin dekat dengan Tuhan. Saya mengingatkan/menegur dia tentang dosa dia, bukan untuk menghakimi ataupun menjatuhkan. Saya sadar bahwa diri saya pun masih banyak dosanya, dan tidak jauh lebih baik dari dia. Saya ingin mengingatkan dia bahwa ada yang harus dirubah dari kebiasaannya ketika dia ingin membangun relasi yang lebih baik dengan Tuhan. Tuhan terima dia bahkan ketika dia masih berdosa. Perjuangan dia melawan dosa? Itu yang kita perjuangkan bersama.
Terkadang kita takut menegur dan mengingatkan, karena dianggap menghakimi dan sok suci. Tapi, kita tahu bahwa kita tidak sedang ingin menempatkan diri lebih baik dari siapa pun yang sama-sama berdosa dan ingin dekat dan intim dengan Tuhan. Ketika mengingatkan teman pun, kita semacam menampar diri: sering mengingatkan diri untuk juga berjuang meninggalkan kebiasaan lama yang menghalangi indahnya relasi kita dengan Tuhan.
'Instruct and direct one another using good common sense. And sing, sing your hearts out to God!'
Saya tahu, konsepnya tidak sesederhana dan semudah ini dipahami, atau malahan tulisan ini mungkin bikin tambah bingung. Dan masih banyak hal lagi yang berkembang dari diskusi ini. Tapi biarlah saya berangkat menulis dari kesukaan saya dengan durian.
Dan, btw, semuanya akan berubah, lain ceritanya, kalau saya tidak sayang dan kenal adik saya, ataupun si cewek tidak ngejar plus sayang adik saya.
No comments:
Post a Comment