Friday, March 19, 2010

Daniel belajar Ber-Toleransi

[Kalo Anda buka dari FB, apalagi kalo lagi buka pake kompie, please dengan sangat, klik disini untuk masuk ke blog saya...]

Aloha!

Saya mulai menikmati kembali journey saya sebagai seorang commuter Magelang-Salatiga, apalagi dengan adanya hape+headset yg membuat saya menikmati masa2 ngelamun sambil humming di dalem bis, di balik lapisan kaca jendela itu yg kemudian bikin saya pura-pura ga denger genjrengan fales dari para pengamen bis... :) Kadang, kalo pulang agak sore (ngebisnya cuman dua kali seminggu, PP, Rabu-Kamis, normalnya pulang jm 8 or 9 sampe magelang), resikonya kudu olah raga: berdiri satu jam dari Bawen ke Salatiga...

Perjalanan commuting ini selalu saja menyenangkan dan 'berwarna-warni' or istilah kerennya: kolorpul.... Berwarna-warni karena: saya bikin populasi dalam bis itu belang, putih sendiri, kemudian warna-warni bau yang semerbak mewangi bak bidadari dari langit tinggi turun ke bumi belum mandi tujuh puluh satu hari... Bayangin: pulang jm7 malem, di dalem bis desak2an dengan puluhan orang yg nasibnya sama: belom mandi dari terakhir mandi pagi, dua kali makan, plus makan snack yg nda jelas. Kadang barang bawaan para penumpang (seperti karung besar, ayam yang berkotek ga jelas, atau kadang potongan mayat :D ) yg ga jelas makin menghias kebinekaan aroma dalem bis. Mantap. (Nikmat, kan, apalagi kalo Anda lagi makan sambil baca blog ini...). Itulah sebabnya saya selalu sedia Fish****n, permen yg bikin plong, en at least aromanya muter2 di mulut en tenggorokan... :P

Muka saya kadang diamati dan jadi objek penelitian singkat di dalem bis. Pria kulit putih cerah, muka ga jelas, pake headset, dengan backpack melembung agak besar yg bikin dirinya kaya kura-kura kebakar matahari. Beberapa kernet bis sudah mulai hapal wajah saya. Terakhir kemaren saya disapa, 'Eh, mas, ayo, kok pulang gasik.' Padahal saya sendiri lupa ini bis yang mana. Kadang saya bersyukur en seneng ketemu beberapa penumpang yang dengan ramahnya menyapa saya dan mengajak ngobrol, walo sekedar, 'Mau kemana, Mas?' Yang parah kalo udah ketemu pengamen. Waduh. Saya heran kok sekarang pengamen mayoritas suka nodong ya, apalagi yg di daerah ambarawa-bawen. 'Om, minta duitnya....' OM DARI HONGKONG!

Eniwe, kemaren rabu saya pulang awal, thanks to Pak Bambang yg ternyata Kamis juga meliburkan kelasnya lagi (padahal saya suka dengan kuliah Teknologi Pembelajaran-nya) dan akhirnya saya kudu pulang jm5 dari salatiga. Seperti yg sudah saya prediksi, jam segitu adalah jam pulang karyawan pabrik, so nasib saya berakhir dengan berdiri dengan pose yang tidak pantas di pandang di bagian depan bis tepat di belakang kaca depan, desak-desakkan dengan beberapa penumpang laen.

Nah, coba bayangkan. Tangan kiri pegang pole, tiang besi, di deket pintu depan bis, tangan kanan memegang erat plang besi yang melintang horisontal di depan kaca. Karena saya lagi bawa laptop, so saya menolak waktu pak Kernet nawarin mindah backpack saya ke depan, dashboard. Backpack saya taruh di depan dada saya, karena kalo ditaruh di belakang tar bisa bikin kepala penumpang di belakang saya penyok kehilangan hidung. Nah ini jadi masalah. Saya sadar kalo penumpang di belakang saya agak risih saya kasi pantat, tapi kenyataannya sudah tidak ada lagi space buat saya gerak en pindah.

Sementara itu, orang di depan saya ga mau ngalah buat agak maju sedikit, padahal saya sudah nda bisa mundur. Dia mendesak mundur, en bersandar dengan enaknya di tiang besi sebelah kiri saya. Pernah sekali, dia bersin dengan keras, en tangannya megang plang besi di depan, kontan saya langsung jijik, dan saya ga sadar kalo saya menyuarakan, 'Iiiih....' pelan sambil memindahkan tangan saya dari plang itu. Kontan dia langsung balik kepala, en saya pura2 bloon ga ngeliat dia.

Waktu beberapa orang di lorong bis itu sudah mulai turun, dengan perjuangan hebat saya harus maju mundur sedikit, menyesuakan posisi berdiri dan kaki yang makin susah menginjak lantai bis, dan kadang diinjak-injak penumpang yg mau turun, saya dipaksa mundur. Anehnya, saya tidak dikasi tempat buat lewat, jalan mundur. Orang di belakang saya, seorang ibu yang mukanya ga begitu jelas, dan saya malah meragukan apakah dia ini manusia or ngga, tidak bergeming sedikit pun ketika orang-orang lewat. Saya waktu mau lewat ternyata ga dikasi celah, so saya agak kesusahan buat ngangkat backpack, en ga jadi deh mundur. Di tambah lagi seorang ibu dengan ukuran plus memalangkan kakinya yang saya lihat ga begitu jelas jelas pahanya lebih gedhe dari pipa pralon talang air di belakang rumah. Dan posisi kaki itu sukses menolak kehadiran saya.

Hal ini belom lagi ditambah dengan penumpang yang suka ngerokok dengan serampangan dan bergaya sok hebat dan cool dengan menyemburkan asap bedebah-nya... Haduh, yang ini saya nda tanggung-tanggung buat sengaja pura-pura batuk. Beberapa sadar, banyak yg tetep dengan bodoh mengurangi life-span-nya.... :P

Saya selalu berpikir ketika agak jengkel kenapa mereka nda mau ngalah. Kenapa mereka nda mikirin orang lain. Kenapa mereka cuman pengin enak sendiri. Mungkin mereka kesal, tapi saya juga lagi capek. Kita sama-sama capek, jadi kenapa tidak saling memahami dan mengerti? Kadang ketika berpikir gitu, selalu sisi Dankur yang lain bilang, 'Jangan-jangan dirimu yang tidak mencoba memahami mereka? Jangan-jangan memang kamu yang pengin enaknya doang?' Kadang yang namanya toleransi terus dilupakan, apalagi ketika sudah mulai memikirkan enaknya diri sendiri. Saya nda peduli dengan dia, itu urusan dia, itu masalahnya dia. Saya juga punya masalah sendiri, jadi urus saja masalahmu sendiri. Makan tu penderitaanmu.

Menjadi seorang guru pun, saya ditantang untuk bertoleransi. Akhir-akhir ini, saya diajak berpikir ketika saya marah dengan tidak bertanggung jawab gara-gara kebawa emosi, walau frekuensi dan intensi marah saya sudah berbeda. Saya ingin menegakkan disiplin, tapi kadang mungkin saya jadi lupa membuka pikiran saya lebih luas. Jangan-jangan memang murid ini ga bawa pe-er karena kemaren dia terlalu sibuk mengurusi pemakaman anjingnya. Jangan-jangan dia terlambat karena memang tadi pagi dia bantu ngurusin adiknya sementara ibunya terbaring sakit di kamar reyotnya. Jangan-jangan dia hari ini ga' pake seragam karena seragam lamanya sudah sesak dan dia belum bisa beli yang baru sementara membayar uang ujian saya harus hutang sana-sini. Jangan-jangan...

Tapi saya juga harus adil dan cerdik. Toleransi, dan kalo saya linient, bukan berarti kemudian orang lain bisa seenaknya sendiri dan memanfaatkan 'kelemahlembutan' dan 'simpati' saya itu. Bukan berarti orang lain juga seenaknya sendiri menuntut perhatian dan perlakuan dari kita atas nama toleransi yang ngawur. Toleransi akarnya pada penghargaan dan perhatian. Menghargai bagaimana orang lain melihat, merasa, berpikir. Kita perlu mengerti dan menggali lebih dalam lebih dulu apa, mengapa dan bagaimana mereka bisa sedemikian itu. Ada batasnya juga ketika keadilan dan kepatuhan hukum kemudian tidak mengijinkan toleransi ataupun permisi semacamnya.

Hm. Saya selalu belajar banyak dan mendapat banyak dari pengalaman melaju saya. Empat jam dalam dua hari setiap minggunya saya lewatkan dengan duduk tidak nyaman di bangku yang kadang sudah jebol dan busanya menongol sana-sini dengan tidak layaknya. Saya memandang keluar menembus kaca jendela bis yang buram dengan debu yang jarang sekali dibersihkan kecuali diguyur hujan. Saya merenung, saya mendengar, saya mengamati, dan saya melihat. Itu juga kalau saya tidak terlelap dengan tidak sopannya karena kadang mulut eksotis saya terbuka sambil kepala terkulai ke belakang ditelan rasa capek. [^_^]

Aloha!
GB

2 comments:

Ronny Dee said...

Halo, o ini blog guru juga ya :)Salam

Daniel Kurniawan said...

Halo Pak Ronny,
Iya, saya guru, tapi ini blog pribadi saya :D
Untuk teaching blog saya ada di blogroll saya... :)
Mampir, Pak.