Thursday, October 30, 2014

Ketika Papa Belajar Pakai Smartphone

Kemarin, saya sedang menikmati makan malam saya ketika Papa pulang dari kerjanya, kemudian tiba-tiba bercerita, "Di Tribun, lagi rame pada bahas kabinet baru, ya. Tadi ada tentang Susi yang...."

Saya diam sejenak, antara kaget dan kagum, bukan karena diskusi Kabinet Kerja yang baru dilantik, ataupun tentang menteri selengean yang bertato dan merokok. Saya kaget karena papa sudah menikmati browsing berita dengan gadget barunya.

Awalnya Papa sempat ragu dan malas, plus saya sendiri juga ragu ketika menawari smartphone baru untuk Papa saya. Dulu saya mengajak Papa belajar menggunakan komputer, karena dia bendahara gereja yang kudu—dan emang rajin—bikin laporan keuangan, dan ternyata Papa tidak begitu antusiasnya. Sakitnya tuh disini *nunjuk kepala*. Tapi untuk kasus smartphone ini, ternyata ada bedanya, meskipun saya tahu sebenarnya ada perasaan enggan dan malas yang dialami seorang imigran di dunia digital untuk belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru.


Papa memang menunjukan semangat belajar, dan saya juga ikutan antusias untuk mengajar. Well, ya, di hari-hari pertama memang saya lumayan kehilangan kesabaran gegara melihat cara Papa menge-poke layar sentuh, alih-alih touch and swipe layar dengan lembut. Tapi saya melewati periode kekurangsabaran itu dan semacam membiarkan Papa saya bereksperimen dan berpengalaman dengan gadget barunya.

Otak saya juga secara otomatis memikirkan 'kurikulum dan silabus' kursus-singkat-pemakaian-smartphone-untuk-generasi-senior-yang-awam-teknologi-canggih-itu. Materinya? Well, seperti ini:

  • pengenalan tampilan dan bagaimana touch dan swipe layar, berakhir dengan aksi poking, dan in fact, untuk kualitas kekasaran permukaan jari papa, lapisan pelindung layar itu sekarang sudah cukup kusam di beberapa spot 
  • bagaimana mengaktifkan mode getar dan silent, buat siap-siap kalau Papa sedang rapat atau tidak mau berisik
  • menerima dan melakukan panggilan telepon, dengan sekali kasus kebingungan bagaimana cara mematikan panggilan padahal salah kontak orang; ini bikin geregetan juga
  • menerima dan mengirim SMS, so far tidak ada kendala
  • BBM, yang ternyata tidak sebegitu antusiasnya, malahan Papa bingung kalau melihat teman-teman BBM-er rajin update foto dan personal message
  • Whatsapp, ini yang bikin Papa cukup tertarik, penasaran bagaimana mengirim dan menyimpan gambar kiriman teman, dan beberapa kali meneruskan gambar humor ke saya juga 
  • memanfaatkan aplikasi Alkitab, yang tidak begitu sering digunakan Papa saya, bahkan di gereja,
  • Browsing via Chrome, cukup untuk searching informasi dan membaca berita, dan sekarang memang rajin update berita, mostly tentang politik dan olah raga 
  • nonton Youtube, yang berakhir dengan kami sama-sama cukup kecewa karena slogan 'I hate slow' dari Semarpret sukses mem-PHP-kan kami
Sekarang, Papa sering bangun pagi, langsung ngechek smartphone-nya. Sembari menunggu giliran mandi, kadang-kadang *uhuk* ngerokok pagi sambil baca berita. Pulang kerja, gak jarang sharing kendala pemakaian smartphone-nya maupun apa yang ditemukan di Internet.  

Respon Mama? Cuek-cuek saja. Memang awalnya saya ngiming-imingi Papa maupun Mama, tapi ketika Mama lihat bagaimana papa sering bingung, sepertinya dia jadi enggan untuk ikut menggunakan smartphone. Komentar terakhir mama pun, "Udah, cariin HP yang biasa (bukan touch screen). Yang penting ada kameranya. Itu sama punya kamu aja (nunjuk blackberry saya)."

Adik saya? Begitu dapat undangan berteman BBM dari Papa, spontan update status seperti ini,


Yang jelas saya ikut semangat ketika Papa saya semangat belajar dan bisa merasakan manfaat dari smartphone barunya. 

Ada yang kelewatan di kurikulum saya? Facebook? Ummm, sepertinya tidak perlu mengajarkan yang satu ini dulu ya. *grinning*

Ada pengalaman unik ngajarin ortu atau sesepuh lainnya belajar pakai smartphone dan sejenisnya? :)

No comments: