Friday, October 10, 2014

Kok, Bertengkar dengan Kakak-Adik (dan Papa-Mama)?

You don't choose your family. They are God's gift to you, as you are to them. ~ Desmond Tutu

"Karena sering dijahilin sama Kokoh"
"Kalau pulang sore karena ngerjain tugas (sekolah) terus dimarahin."

Itu beberapa alasan yang dituliskan teman-teman remaja ketika saya memimpin sesi diskusi dan sharing Sabtu lalu di Persekutuan Remaja, GKI Pajajaran Magelang. Tema yang diberikan ke saya, 'Sayang adik-kakak,' dan awalnya langsung bikin saya bingung. Saya punya satu adik, dan bukannya saya tidak sayang adik saya, tapi mungkin teman-teman dekat saya tahu kalau saya tidak sering menunjukan keakraban adik-kakak sebagaimana yang ditunjukan siblings yang lainnya.


Saya memperluas sedikit tema itu, dan menambahkan topik 'sayang orang tua' ke dalam diskusi kami (yang ternyata sudah dibahas minggu sebelumnya). Saya jadi tergelitik ketika membaca sms yang menyebutkan tujuan dari diskusi tema ini: supaya kakak adik tidak terus-terusan bertengkar, dan tidak melawan mama-papa. Kenyataannya, tidak jarang saya sering diskusi dan bahkan mengkritisi (kalau mau dibaca: melawan) pendapat orang tua saya.

Dari beberapa referensi yang saya baca, kita bertengkar—beda pendapat, salah paham, berselisih ide—dengan orang tua maupun saudara karena beberapa hal. Well, saya memulai diskusi malam itu dengan meminta mereka menuliskan contoh alasan-alasan sehari-hari yang sering memicu pertengkaran di rumah.

Menarik ketika membaca pengalaman yang dituliskan teman-teman: rebutan channel televisi, ortu yang galak, sok tahu, kakak yang sok berkuasa, ngotot-ngototan, bahkan sampai faktor kegantengan sang kakak yang di bawah standar harapan sang adik.


Saya minta mereka menempelkan post-it tulisan mereka dalam dua kategori: orang tua dan saudara, membahasnya secara singkat, kemudian menanyakan beda secara umum alasan dari kedua kategori itu. Seorang remaja langsung menjawab, 'Kalau dengan kakak-adik, bisa dua-duanya sama-sama salah. Tapi kalau dengan orang tua, biasanya orang tua benar, kita yang salah.' I would agree with that.

Kita dan ortu atau saudara bisa saja bertengkar karena kita punya cara yang berbeda dalam mengungkapkan dan menerima kasih, atau cinta. Alasan pertama perselisihan dalam keluarga adalah perbedaan bahasa kasih. Saya meminjam istilah bahasa kasih yang diperkenalkan Gary Chapman, dan dalam bukunya, yang notabene sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dia menyebutkan ada lima jenis bahasa kasih: kata-kata penguatan (words of affirmation), pelayanan (acts of service), sentuhan fisik (physical touch), pemberian hadiah (gifts), dan waktu bersama (quality time). Betewe, kita bisa cari tahu jenis bahasa kasih kita disini. Bahasa kasih saya? Saya rasa sudah ada perubahan: antara sentuhan fisik, kata-kata penguatan, dan hadiah.

Keluarga jadi tempat pertama kita menerima, menyatakan, dan melatih mengekspresikan sayang kita, dan memakai ide Chapman, kita punya bahasa yang berbeda untuk melakukan itu. Seorang ibu mungkin ingin melayani anak, 'memanjakan' mereka, tapi sayangnya si anak merasa risih. Budi memikirkan dan menyiapkan hadiah khusus untuk papanya, yang malahan tidak kelihatan begitu semangat menganggap hadiah spesial itu. Atau, Nora pengin menghabiskan waktu lebih dengan adiknya, kemudian 'caper' dengan iseng dan jahil, tapi adiknya menganggap itu kenakalan yang mengganggu. Well, at least, that what I did to my younger brother. Beda bahasa kasih ini juga nampak ketika mendengar jawaban dari seorang teman, "Mama pengin jemput saya, tapi saya tidak pengin merepotkan. Nah, kami kemudian bisa bertengkar, deh."


Alasan kedua adalah karena tiap anggota keluarga pada dasarnya ingin merasakan atau memiliki kebebasan dan privasi. Sang anak ingin bebas bepergian, entah untuk menyelesaikan tugas belajar ataupun untuk tujuan bermain, tapi ortu di sisi lain khawatir. Orang tua juga sering menetapkan aturan, yang dianggap mengekang dan membuat anak gerah. Belum lagi aturan tidak resmi dari kakak untuk adik, seperti ketika saya melarang adik saya buat rebahan di ranjang seenaknya ketika ia pulang dan masih berpakaian kotor dengan debu atau keringat dari luar rumah.

Kita sering merasa tidak nyaman dengan aturan yang dibuat dalam keluarga, atau beberapa menyebutnya 'kontrak keluarga'. Tapi kenyataannya, aturan itu, ketika dibuat dengan dasar dan tujuan yang baik, tidak pernah dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan kita. Disiplin yang ingin diterapkan bertujuan meningkatkan kualitas pribadi kita. Menaati orang tua bukan berarti melenyapkan atau membatasi kebebasan, justru malah kita sedang menyiapkan diri untuk nantinya terbiasa hidup disiplin dengan sendirinya. Akan tiba masanya ketika anak berpisah (rumah) dengan orang tua, dan dianggap ada kebebasan lebih. Tapi sampai saat itu tiba, biar kita menikmati hidup dengan aturan yang ada.


Dan terakhir, kita sama-sama punya kepentingan, pandangan, dan prioritas yang berbeda. Belajar bisa saja dianggap tugas nomor satu oleh orang tua, atau untuk orang tua yang lain, membantu ortu juga tidak kalah pentingnya. Sementara anak bisa saja melihat bahwa mereka butuh hiburan, perlu menyalurkan bakat, dan ingin menghabiskan waktu bersama teman. Ortu dan anak bisa saja ribut besar gegara pemilihan jurusan kuliah, karena ortu lebih memikirkan apa yang dianggap menghasilkan banyak uang, sementara anak pengin mengembangkan bakat mereka. Atau ketika saya dan ortu rebutan channel televisi, karena beda melihat apa yang dianggap hiburan.

Jadi bagaimana supaya tidak bertengkar? Ya, for me, kembali melihat tiga alasan itu; apakah memang ada perbedaan dalam memandang dan memahami bahasa kasih, kebebasan dan privasi, serta kepentingan dan prioritas hidup. Next, kita perlu memikirkan bagaimana berkomunikasi supaya perbedaan itu bisa sama-sama dipahami dan diterima. Dan belajar berkomunikasi itu hal yang lain lagi. Tapi at least kita sudah mencoba lebih peka melihat hal-hal yang bisa memicu perselisihan dalam keluarga itu. Dan ketika semuanya didasarkan dan dimulai dengan kasih atau cinta, saya rasa kita bisa lebih menghindari atau mengurangi pertengkaran di rumah. Atau menganggap perselisihan itu bukan hal yang destruktif.



No comments: