Daniel's Den

Beberapa hari yang lalu, diriku sok rajin dengan beberes meja belajar, en menemukan satu kenangan lama yang indah dan tidak terlupakan. My old wristwatch.

Sudah hampir lebih dari enam bulan aku tidak pakai jam tangan. Sejak kejadian bodoh yang melibatkan jatuhnya Jam-tangan-berstrap-item (selanjutnya kita panggil dia Jatiem) dalam posisi yang tidak menguntungkan, dan sekarang wajah (kaca penutup) Jatiem retak. Bagai pinang dikepruk kapak. Padahal sampe sekarang Jatiem masih berdetak… Sudah dibawa ke UGD ga terselamatkan; mau dioperasi plastik Jatiem juga meronta2: dia lebih suka apa adanya, ga mau wajahnya dirubah jadi mirip Luna Maya or Aming. Aku dilemma: tetap setia pada Jatiem or meninggalkannya. Ga lucu juga kalo kemana2 bareng Jatiem yang kacanya retak, bisa dikira orang gila, or orang kere… So keputusanku: sementara kita pisah ranjang Jatiem! Adios!

Tadinya pergelangan tangan gatel jauh Jatiem, bahkan mengalahkan rasa gatal kalo ga’ njailin adek or gatal kalo ga nyium tikus cewek… Kulit tanganku pun keliatan belang, sampe ada yang bilang, ‘Ih, Dankuur canggih panunya, bisa muterin pergelangan tangan.’ Waktu tahu diriku harus berpisah dari Jatiem yang sudah lengket banget sebagai soulmateku, aku cari2 pengganti yang bisa memuaskan rasa gatalku itu: gelang karet warna biru (kita namain dia Gewiru). Yup! Tok-cer jadi soulmate baruku… Mhwahwahwa… selamat tinggal Jatiem, abang juga sebenarnya tak sanggup melepaskan dirimu pergi…

Eniwei, aku pun memulai lembaran baru kisah hidupku yang bahagia bersama Gewiru. Gewiru lebih lengket, 24/7 dipake terus dan tak terpisahkan. Gewiru menemani masa2 sedih dan senangku, makan, mandi, cebok, olah raga. Kalo aku berpanu, Gewiru pun berpanu. Kalau aku jerawatan, Gewiru jerawatan. Aku menangis, Gewiru diem aja. Tapi lagi2 sad ending muncul. Gewiru terbelah… ya, tragis, Gewiru putus. Saking sudah buluk en bladus (warnanya jadi biru tua dari biru muda, inilah bukti adanya reaksi kimia antara kenarsisan Dankuur dengan karet).

Kemudian sekarang? Well, polos, tanpa asesoris apa2. Warna putih kulit yang belang pun makin lama makin menghilang. Sudah polos en ga berbekas. Tangan ini pun sudah beradaptasi: tidak lagi ada rasa gatal. Rasanya ada yang hilang, tapi apakah itu entah aku tak tahu… (halah…).

Eniwei, tanpa jam tangan hidupku agak kerepotan. Kalo mau lihat jam berapa saat itu harus lirik ke handphone yang notabene juga ga begitu lengket. Parahnya tuh handphone clock settingnya aneh, kadang mundur2, ngelambat sendiri. Susahnya lagi kalo lagi ngajar. Diriku harus tengok2 jam dinding kelas, or kalo ga ada clock yah tanya murid2ku, dulu sering lirik2 handphone tapi sekarang ga’ lagi karena lebih sering di tinggal di meja kerja. Ckckck… menyedihkan. Padahal jam tangan itu kan identik dengan professionalisme toh? Businessman kan banyak yang pake jam tangan, malah sudah jadi asesoris wajib. Hiks. Hiks. Kasihan diriku.

Sebenernya sudah ada rencana buat beli jam tangan baru, tapi kok ya kebutuhan laen yang lebih mendesak selalu muncul, seperti beli sandal baru buat gantiin sandal butut lama, beli baju baru buat kerja, beli snek buat ngemil, beli komik edisi baru, dan beli harga diri. Aku sudah ngincer satu mode jam tangan buatan Sophie Martin yang lumayan OK, desainnya pake konsep matriks, jadi bekgronnya gambar teks ijo, ga’ tahu itu teks glow in the dark ga.

Beberapa waktu lalu waktu maen2 ke Solo sempet tergiur juga buat mengeluarkan uang beli jam impor yang murah (tapi ga halus produknya). Waktu itu kalo ga salah kita di SGM, en sudah ngincer beberapa jam di konter jam impor itu. Yang lucu, waktu itu nemuin di etalasi satu konter jam yang kecil, simpel, en pastinya ijo (warna paporitku). Konsepnya army. Harganya 40-50ribu. Waktu lirik2 ke kaca display di dalem konter, ada yang mirip banget, en keliatan lebih fine, alus. Ga keliatan harganya, so aku tanya ke mas2 yang jaga. Dia langsung bilang, ‘Kalo yang itu mah aseli, mas. Harganya 250 ribu.’ Dueng… yang ori dan yang ga’ ori… ironis. Itulah Indonesia raya…

Sejauh ini aku survive dengan diriku yang menjomblo tanpa asesoris melengket di pergelangan tangan. Kadang entah kenapa ini mempengaruhi ke-on-time-an diriku. Semakin jauh dari penanda waktu, semakin tergoda untuk tidak on-time.

Well, diriku sekarang rajin menabung, salah satunya, untuk beli jam tangan biar bisa kembali jadi a professional guy like I was then.

GBU!