Langit mendung,
hujan menyusul cepat.
Bumi basah, dan air terbendung,
di tiap selokan kotor yang lubangnya tertutup rapat.
Ah, aku malas,
berguling layaknya para Cricetinae menggeliat
tebal, hangat, di bawah selimut aku lelas;
di luar jendela deru hujan makin hebat.
Semenit, bukan, dua menit, oops, lebih, kan?
Tiga menit, sejam, setengah jam lagi.
Selesai! Waktunya makan?
Belum! Menembus kaca jendela, memicing, gelap sudah pergi.
Ah, itu dia, di kejauhan, melengkung indah.
Warna-warna tertoreh, spektrum warna yang megah.
700 nano meter gelombang warna memulai lekuk itu,
berakhir pada 400. Sebuah iktibar: banyak namun satu.
Lukisan Sang Pencipta
yang menenangkan hati, menyejukkan jiwa, pembangkit cita.
Sebuah reminder bagi yang dahaga
akan asa yang tersedia dan memberi lega.
Kapan warna-warni itu bisa ada,
dalam hidup yang mega beragam?
Kesatuan, kata kuncinya, hidup walau beda,
tak harus selalu seragam.
Kapan kita bisa saling menghargai ke-puspawarna itu,
dan walau aku-dan-kamu tak sama, nyata
tiada selisih diskriminasi, segregasi yang tak bermutu,
namun kita melihat indah, meski kadang tak seiya-sekata.
Ular mengiang,
benang raja,
akan tiba kah saatnya, aku bisa berpendar, 'ku melayang
bergabung dengan eloknya engkau, teja.
No comments:
Post a Comment